PENGERTIAN TAJWID
Secara lughat (bahasa) kata "Tajwid" berarti "Tahsin" (memperbaiki), sedangkan menurut istilah adalah: "Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya, serta memberi hak-haknya, seperti: jelas kuat, lemah dan sifat-sifat huruf, seperti: tebal, tipis, al-jahr, isti'la, istifal dan lain-lain. Haq huruf yaitu sifat asli yang senantiasa ada pada setiap huruf atau seperti sifat Al-jahr, Isti’la, dan lain sebagainya. Hak huruf meliputi sifat-sifat huruf dan tempat-tempat keluar huruf.
Mustahaq huruf yaitu sifat yang sewaktu-waktu timbul oleh sebab-sebab tertentu ,seperti; idh-har, ikhfa, iqlab, idgham, qalqalah, ghunnah, tafkhim, tarqiq, mad, waqaf, dan lain-lain.
Imam Ali bin Tholib mengatakan bahwa Tajwid adalah mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya dan memberikan hak setiap huruf (yaitu sifat yang melekat pada huruf tersebut seperti qolqolah, Hams, dll) dan mustahaq huruf (yaitu sifat-sifat huruf yang terjadi karena sebab-sebab tertentu, seperti izhar, idghom, dll.)
Pengertian lain dari ilmu tajwid ialah menyampaikan dengan sebaik-baiknya dan sempurna dari tiap-tiap bacaan ayat al-Quran.
Pengertian tahsin (تحسين) secara bahasa sama seperti pengertian tajwid yang berasal dari kata حَسَّنَ- يُحَسِّنُ- تَحْسِيْنًاyang berarti membaguskan atau memperbaiki.
Adapun masalah-masalah yang dikemukakan dalam ilmu ini adalah makharijul huruf (tempat keluar-masuk huruf), shifatul huruf (cara pengucapan huruf), ahkamul huruf (hubungan antar huruf), ahkamul maddi wal qasr (panjang dan pendek ucapan), ahkamul waqaf wal ibtida’ (memulai dan menghentikan bacaan) dan al-Khat al-Utsmani.
Maka dapat dikatakan Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaidah serta cara-cara membaca Al-Quran dengan mengeluarkan huruf dari makhrojnya serta memberi hak dan mustahaknya
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Artinya : ”Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya”(HR.Muslim).
PELETAK DASAR ILMU TAJWID
Ditinjau dari sisi amalan, praktik bacaan Al-Quran adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla yang disampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Jibril ‘alaihis salam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat, lalu para sahabat menyampaikan kepada tabi’in, dan begitu seterusnya, sampai ilmu itu kepada kita. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang diperbolehkan berijtihad dalam hal bacaan Al-Quran tersebut. (Lihat Hidayah Al-Qori, hlm. 38)
Kemudian, terjadi perselisihan siapa yang mulai meletakkan kaidah dan ushul ilmu tajwid. Sebagian mengatakan Abu ‘Amr Hafs bin ‘Umar Ad-Dury, Abu ‘Ubaid Al-Qasim Ibnu Sallam, Abul Aswad Ad-Dualy, Al-Kholil ibn Ahmad, dan sebagian mengatakan yang lainnya.
Kemudian, kaidah itu bukanlah suatu bid’ah yang tercela dalam agama Islam bahkan merupakan suatu maslahat mursalah (Lihat al-I’tisham 2/111—112). Demikian pula ilmu nahwu, ilmu mushtholah, ilmu ushul fikih, dan sebagainya, yang semua itu tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun sebab yang mendorong ulama untuk meletakkan kaidah serta ushul tersebut, adalah karena tersebarnya bahasa orang-orang non Arab yang merusak ilmu Al-Quran. Lihatlah betapa banyak orang tidak bisa membedakan د(dal) dengan ذ (dzal), ظ (dzo`) dengan ض (dho’). Demikian pula س (sin) dengan ش (syin) atau denganث (tsa’), dan seterusnya. Maka kaidah merupakan salah satu jalan dalam upaya mempermudah bacaan Al-Quran.
SUMBER DAN ASAL MUASAL ILMU TAJWID
Ilmu tajwid diambil dari Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran, serta para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in demikian seterusnya. Sampailah kepada ulama-ulama yang ahli dalam Al-Quran sehingga sampai ilmu qiro’at tersebut dengan cara yang mutawatir.
NAMA
Ilmu tersebut dinamakan dengan ilmu tajwid, sedangkan tajwidnya sendiri ada dua, yaitu:
- Syafawi ‘Amali, yaitu bacaan Al-Quran yang bagus yang diambil dari orang yang ahli dalam membaca Al-Quran.
- Nadzory ‘Ilmi, yaitu suatu ilmu yang diajarkan secara turun-temurun menurut kaidah yang diletakkan oleh para ulama.
HUKUM ILMU TAJWID
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “apakah seorang Muslim boleh membaca Al Qur’an tanpa berpegangan pada kaidah-kaidah tajwid?”. Beliau menjawab:
نعم يجوز ذلك إذا لم يلحن فيه فإن لحن فيه فالواجب عليه تعديل اللحن وأما التجويد فليس بواجب التجويد تحسين للفظ فقط وتحسين اللفظ بالقرآن لا شك أنه خير وأنه أتم في حسن القراءة لكن الوجوب بحيث نقول من لم يقرأ القرآن بالتجويد فهو آثم قول لا دليل عليه بل الدليل على خلافه بل إن القرآن نزل على سبعة أحرف حتى كان كل من الناس يقرؤه بلغته إلا أنه بعد أن خيف النزاع والشقاق بين المسلمين وحد المسلمون في القراءة على لغة قريش في زمن أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه وهذا من فضائله ومناقبه وحسن رعايته في خلافته أن جمع الناس على حرف واحد لئلا يحصل النزاع والخلاصة أن القراءة بالتجويد ليست بواجبة وإنما الواجب إقامة الحركات والنطق بالحروف على ما هي عليه فلا يبدل الراء لاما مثلا ولا الذال زاياً وما أشبه ذلك هذا هو الممنوع
Artinya : “Ya, itu dibolehkan. Selama tidak terjadi lahn (kesalahan bacaan) di dalamnya. Jika terjadi lahn maka wajib untuk memperbaik lahn-nya tersebut. Adapun tajwid, hukumnya tidak wajib. Tajwid itu untuk memperbagus pelafalan saja, dan untuk memperbagus bacaan Al Qur’an. Tidak diragukan bahwa tajwid itu baik, dan lebih sempurna dalam membaca Al Qur’an. Namun kalau kita katakan ‘barangsiapa yang tidak membaca Al Qur’an dengan tajwid maka berdosa‘ ini adalah perkataan yang tidak ada dalilnya. Bahkan dalil-dalil menunjukkan hal yang berseberangan dengan itu."
Yaitu bahwasanya Al Qur’an diturunkan dalam 7 huruf, hingga setiap manusia membacanya dengan gaya bahasa mereka sendiri. Sampai suatu ketika, dikhawatirkan terjadi perselisihan dan persengketaan di antara kaum Muslimin, maka disatukanlah kaum Muslimin dalam satu qira’ah dengan gaya bahasa Qura’isy di zaman Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu’anhu. Dan ini merupakan salah satu keutamaan beliau (Utsman), dan jasa beliau, serta bukti perhatian besar beliau dalam masa kekhalifahannya untuk mempersatukan umat dalam satu qira’ah. Agar tidak terjadi perselisihan di tengah umat.
Kesimpulannya, membaca Al Qur’an dengan tajwid tidaklah wajib. Yang wajib adalah membaca harakat dan mengucapkan huruf sesuai yang sebagaimana mestinya. Misalnya, tidak mengganti huruf ra’ (ر) dengan lam (ل), atau huruf dzal (ذ) diganti zay (ز), atau semisal itu yang merupakan perkara yang terlarang”. (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 5/2, Asy Syamilah).
Dengan demikian, apa yang disebutkan sebagian ulama qiraat, bahwa wajib membaca Al Qur’an dengan tajwid, yaitu semisal wajib membaca dengan ikhfa, idgham, izhar dan lainnya, adalah hal yang kurang tepat dan membutuhkan dalil syar’i untuk mewajibkannya. Yang tepat adalah, ilmu tajwid wajib dalam kadar yang bisa menghindari seseorang dari kesalahan makna dalam bacaannya. Terdapat penjelasan yang bagus dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah :
ذَهَبَ الْمُتَأَخِّرُونَ إِلَى التَّفْصِيل بَيْنَ مَا هُوَ (وَاجِبٌ شَرْعِيٌّ) مِنْ مَسَائِل التَّجْوِيدِ، وَهُوَ مَا يُؤَدِّي تَرْكُهُ إِلَى تَغْيِيرِ الْمَبْنَى أَوْ فَسَادِ الْمَعْنَى، وَبَيْنَ مَا هُوَ (وَاجِبٌ صِنَاعِيٌّ) أَيْ أَوْجَبَهُ أَهْل ذَلِكَ الْعِلْمِ لِتَمَامِ إِتْقَانِ الْقِرَاءَةِ، وَهُوَ مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ مِنْ مَسَائِل لَيْسَتْ كَذَلِكَ، كَالإِْدْغَامِ وَالإِْخْفَاءِ إِلَخْ. فَهَذَا النَّوْعُ لاَ يَأْثَمُ تَارِكُهُ عِنْدَهُمْ.
قَال الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْقَارِيُّ بَعْدَ بَيَانِهِ أَنَّ مَخَارِجَ الْحُرُوفِ وَصِفَاتِهَا، وَمُتَعَلِّقَاتِهَا مُعْتَبَرَةٌ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ: فَيَنْبَغِي أَنْ تُرَاعَى جَمِيعُ قَوَاعِدِهِمْ وُجُوبًا فِيمَا يَتَغَيَّرُ بِهِ الْمَبْنَى وَيَفْسُدُ الْمَعْنَى، وَاسْتِحْبَابًا فِيمَا يَحْسُنُ بِهِ اللَّفْظُ وَيُسْتَحْسَنُ بِهِ النُّطْقُ حَال الأَْدَاءِ
Artinya : “para ulama muta’akhirin merinci antara wajib syar’i dengan wajib shina’i dalam masalah tajwid. Wajib syar’i (kewajiban yang dituntut oleh syariat) adalah yang jika meninggalkannya dapat menjerumuskan pada perubahan struktur kalimat atau makna yang rusak. Dan wajib shina’i adalah hal-hal yang diwajibkan para ulama qiraat untuk menyempurnakan kebagusan bacaan."
"Maka apa yang disebutkan pada ulama qiraat dalam kitab-kitab ilmu tajwid mengenai wajibnya berbagai hukum tajwid, bukanlah demikian memahaminya. Seperti idgham, ikhfa’, dan seterusnya, ini adalah hal-hal yang tidak berdosa jika meninggalkannya menurut mereka."
Asy Syaikh Ali Al Qari setelah beliau menjelaskan bahwa makharijul huruf berserta sifat-sifat dan hal-hal yang terkait dengannya itu adalah hal yang berpengaruh dalam bahasa arab, beliau berkata: ‘hendaknya setiap orang memperhatikan semua kaidah-kaidah makharijul huruf ini. Wajib hukumnya dalam kadar yang bisa menyebabkan perubahan struktur kalimat dan kerusakan makna. Sunnah hukumnya dalam kadar yang bisa memperbagus pelafalan dan pengucapan ketika membacanya'” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 10/179).
Maka tidak benar sikap sebagian orang yang menyalahkan bacaan Al Qur’an dari orang-orang yang belum pernah mendapatkan pelajaran tajwid yang mendalam, padahal bacaan mereka masih dalam kadar yang sudah memenuhi kadar wajib, yaitu tidak rusak makna dan susunan katanya. Bahkan sebagian orang ada yang merasa tidak sah shalat di belakang imam yang tidak membaca dengan tajwid. Dan ada pula sebagian pengajar tajwid yang menganggap tidak sah bacaan Al Qur’an setiap orang yang tidak menerapkan semua kaidah-kaidah tajwid dengan sempurna. Ini adalah sikap-sikap yang kurang bijak yang disebabkan oleh kurangnya ilmu. Wallahul musta’an.
Makna ayat “bacalah secara tartil”
Sebagian orang yang menganggap wajibnya menerapkan kaidah tajwid secara mutlak, berdalil dengan ayat:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا
Artinya : “dan bacalah Al Qur’an dengan tartil” (QS. Al Muzammil: 4).
Tartil di sini dimaknai dengan hukum-hukum tajwid. Kita simak penjelasan para ulama tafsir mengenai ayat ini.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan:
وَقَوْلُهُ: {وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا} أَيِ: اقْرَأْهُ عَلَى تَمَهُّلٍ، فَإِنَّهُ يَكُونُ عَوْنًا عَلَى فَهْمِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ
Artinya : “dan firman-Nya: ‘dan bacalah Al Qur’an dengan tartil‘, maksudnya bacalah dengan pelan karena itu bisa membantu untuk memahaminya dan men-tadabburi-nya” (Tafsir Ibni Katsir, 8/250).
Imam Ath Thabari juga menjelaskan:
وقوله: (وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا) يقول جلّ وعزّ: وبين القرآن إذا قرأته تبيينا، وترسل فيه ترسلا
Artinya : “dan firman-Nya: ‘dan bacalah Al Qur’an dengan tartil‘, maksudnya Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan: perjelaslah jika engkau membaca Al Qur’an dan bacalah dengan tarassul (pelan dan hati-hati)” (Tafsir Ath Thabari, 23/680).
As Sa’di menjelaskan:
{وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا} فإن ترتيل القرآن به يحصل التدبر والتفكر، وتحريك القلوب به، والتعبد بآياته، والتهيؤ والاستعداد التام له
Artinya : “‘dan bacalah Al Qur’an dengan tartil‘, karena membaca dengan tartil itu adalah membaca yang disertai tadabbur dan tafakkur, hati bisa tergerak karenanya, menghamba dengan ayat-ayat-Nya, dan tercipta kewaspadaan dan kesiapan diri yang sempurna kepadanya” (Taisir Karimirrahman, 892).
Demikian yang dijelaskan para ulama ahli tafsir mengenai makna tartil. Maka kurang tepat jika ayat ini dijadikan dalil untuk mewajibkan untuk membaca Al Qur’an dengan kaidah-kaidah tajwid secara mutlak.
DALIL DAN DASAR PENYUSUNAN TAJWID
1. Al-Qur'an, surah Al-Muzammil ayat 4:
وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلاً
Artinya: Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.
2. Sabda Rasulullah saw.
جَوِّدُ الْقُرْآنَ فَإِنَّ التَّجْوِيْدَ حِلْيَةُ الْقِرَاءَةِ
Artinya : "Baguskanlah bacaan al-Qur'an, maka sesungguhnya membaguskan bacaan al-Qur'an itu hiasan qira'at (bacaan)." [HR. Turmudzi].
3. Dalam Sunan An-Nasa’i dan Ad-Darimi serta Al-Mustadrak Al-Hakim dari Barra’ r.a. berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
حَسِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا
Artinya : “Baguskanlah Al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur’an.”
DALIL KEWAJIBAN MEMBACA TAJWID DALAM AL-QURAN:
1. Dalil-dalil dari Al_Qur'an
Firman Allah : "azza wajalla"
Artinya : "Dan bacalah Alquran dengan tartil” (QS. 73:4)
Ini adalah sifat Kalamullah, maka wajib bagi kita untuk membacanya dengan apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah Azza wa Jalla:
“Orang-orang yang telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al Baqarah: 121)
Dan mereka tidak akan membaca dengan sebenarnya kecuali harus dengan tajwid, kalau meninggalkan tajwid tersebut maka bacaan itu menjadi bacaan yang sangat jelek bahkan kadang-kadang bisa berubah arti. Ayat ini menunjukkan sanjungan Allah Azza wa Jalla bagi siapa yang membaca Al Qur’an dengan bacaan sebenarnya.
2. Dalil-dalil dari As Sunnah
1. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya bagaimana bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menjawab bahwa bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu dengan panjang-panjang kemudian dia membaca “Bismillahirrahman arrahiim” memanjangkan (bismillah) serta memanjangkan (ar rahmaan) dan memanjangkan ar rahiim.” (HR. Bukhari)
2. Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat agar mengambil bacaan dari sahabat yang mampu dalam bidang ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mintalah kalian bacaan Al Qur’an dari Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini adalah para sahabat yang mulia, padahal mereka itu orang-orang yang paling fasih dalam pengucapan Al Qur’an masih disuruh belajar, lalu bagaimana dengan kita orang asing yang lisan kita jauh dari lisan Al Qur’an?
3. Dan dalil yang paling kuat sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur ketika Ibnu Mas’ud menuntun seseorang membaca Al Qur’an. Maka orang itu mengucapkan:
“Innamash shadaqatu lil fuqara-i wal masakin.”
Dengan meninggalkan bacaan panjangnya, maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu katakan, “Bukan begini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat ini kepadaku.” Maka orang itu jawab, “Lalu bagaimana Rasulullah membacakan ayat ini kepadamu wahai Abu Abdirrahman?” Maka beliau ucapkan:
“Innamash shadaqaatu lil fuqaraa-i wal masaakiin.”
Dengan memanjangkannya. (HR. Sa’id bin Mansur)
Ibnu Mas’ud langsung menegur orang ini padahal ini tidak merubah arti, akan tetapi bacaan Al Qur’an itu adalah suatu hal yang harus diambil sesuai dengan apa yang Rasulullah ucapkan.
3. Ijma’
Seluruh qura’ telah sepakat tentang wajibnya membaca Al Qur’an dengan tajwid.
Fatwa Para Ulama Dalam Permasalahan Ini
1. Fatwa Ibnu Al Jazary
Tidak diragukan lagi bahwa mereka itu beribadah dalam upaya memahami Al Qur’an dan menegakkan ketentuan-ketentuannya, beribadah dalam pembenaran lafadz-lafadznya, menegakkan huruf yang sesuai dengan sifat dari ulama qura’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Annasyr 1/210)
2. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Adapun orang yang keliru yang kelirunya itu tersembunyi (kecil) dan mungkin mencakup qira’at yang lainnya, dan ada segi bacaan di dalamnya, maka dia tidak batal shalatnya dan tidak boleh shalat di belakangnya seperti orang yang membaca “as sirath” dengan ‘sin’, pergantian dari “ash shirath, karena itu qira’at yang mutawatir. (Majmu’ Fatawa 22/442 dan 23/350)
Dari fatwa ini bisa kita ambil kesimpulan:
Tidak selayaknya seorang yang masih salah dalam bacaan (kesalahan secara tersembunyi) untuk menjadi imam shalat, lalu bagaimana dengan yang mempunyai kesalahan yang fatal seperti yang tidak bisa membedakan antara ‘sin’ dengan ‘tsa’ atau ‘dal’ dengan ‘dzal’, yang jelas-jelas merubah arti.
Secara tidak langsung Syaikhul Islam telah mewajibkan untuk membaca Al Qur’an dengan tajwid karena kesalahan kecil itu tidak sampai merubah arti, beliau melarang untuk shalat di belakangnya, lalu bagaimana dengan kesalahan yang besar.
3. Fatwa Syaikh Nashiruddin Al Albany
Ketika ditanya tentang perkataan Ibnul Jazary tersebut di atas, maka beliau mengatakan kalau yang dimaksud itu sifat bacaannya di mana Al Qur’an itu turun dengan memakai tajwid dan dengan tartil maka itu adalah benar, tapi kalau yang dimaksud cuma lafadz hurufnya maka itu tidak benar. (Al Qaulul Mufid fii Wujub At Tajwid, hal. 26)
4. Fatwa Asy Syaikh Makki Nashr
Telah sepakat seluruh umat yang terbebas dari kesalahan tentang wajibnya tajwid mulai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai zaman sekarang ini dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi pendapat ini. (Nihayah Qaul Mufid hal. 10)
TUJUAN MEMPELAJARI ILMU TAJWID
Tujuan mempelajari ilmu tajwid adalah untuk menjaga lidah agar terhindar dari kesalahan dalam membaca Alquran. Kesalahan dalam membaca Alquran disebut dengan istilah Al-Lahnu. Kesalahan ini dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Al-Lahnu ul-Jaliyyu
Adalah kesalahan dalam membaca Lafadz-lafadz Al-Quran, baik yang merubah makna maupun tidak, sehingga menyalahi 'urf qurro, seperti ketika membaca 'ain dibaca menjadi hamzah atau merubah harkat. Maka kesalahan yan satu ini apabila disengaja maka hukumnya haram.
2. Al-Lahnu ul-khofiyyu
adalah kesalahan yang terjadi ketika membaca lafazh-lafazh dalam Alquran yang menyalahi ‘urf qurro, namun tidak sampai merubah arti. Seperti tidak membaca ghunnah, kurang panjang dalam membaca mad wajib muttashil, dan Iain-lain. Melakukan kesalahan ini dengan sengaja hukumnya makruh.
Sudah banyak di buku-buku maupun di media sosial, yang menyampaikan ilmu cara membaca Al-quraan dengan benar, adapun saya akan menyampaikanya dengan cara yang sangat praktis dan simpel mudah di mengerti, khususnya bagi sauadara-saudara kita yang baru belajar dan mengenal Al-quran, Inilah caranya saya akan mengenalkan terlebih dahulu satu-persatu huruf hijaiyah lengkap dengan cara membacanya.
. |
- Huruf “ Alif “ : cara membacanya yaitu dengan melebarkan mulut, dikeluarkan dari rongga mulut sedikit di atas huruf amja.
- Huruf “ Ba ” : cara membacanya yaitu dengan merapatkan bibir atas dan bawah di keluarkan dengan sedikit angin.
- Huruf “ Ta “ cara membacanya yaitu dengan menempelkan ujung lidah ke gigi paling depan bagian dalam dengan sedikit mengeluarkan angin.
- Huruf “ Tsa “ cara membacanya dengan menempelkan ke ujung gigi depan agak agak longgar sedikit, dikeluarkan dengan angin yang agak lebih banyak dari huruf Ta.
- Huruf Jim “ Ja “ cara membacanya adalah menempelkan pertengahan lidah ke langit-langit mulut dengan mengumpulkan angin untuk di lepaskan.
- Huruf “ Ha “ cara membacanya yaitu dengan melebarkan mulut setengah bagian saja dan di keluarkan dengan angin.
- Huruf “ kho” cara membacanya adalah dengan melebarkan mulut setengah bagian dan mengeluarkan angin dengan mengleperkan tenggorokan.
- Huruf Dal “ da “ cara membacanya adalah dengan menempelkan ujung lidah ke langit mulut bagian tengah.
- Huruf “ dza “ cara membacanya adalah dengan menempelkan ujung lidah ke gigi depan atas, di lepa dengan sedikit angin.
- Huruf “ ro “ cara membacanya yaitu dengan lidah di posisikan ke tengah mulut tapi jangan sampai nempel, lalu dengan sedikit di keluarkan angin.
- Huruf “ za “ cara membacanya seperti mengeluarkan huruf Z dalam bahasa indonesia.
- Huruf Sin “ Sa “ cara membacanya yaitu dengan lidah di tempat ke tengah langit mulut dengan mengeluarkan sedikit angin.
- Hurf Syin “ Sya “ cara membacanya adalah dengan posisi lidah berada di tengah mulut dan mengumpulkan angin lalu di keluarkan.
- Huruf Shod “ Sho “ cara membacanya adalah posisi lidah ditengah mulut untuk mengumpulkan angin yang banyak lalu di keluarkan.
- Huruf Dhod “ dho “ cara membacanya yaitu dengan mengeluarkan angin dari samping mulut kanan sambil lidah di tempelkan pada gigi samping kanan juga.
- Huruf “ Tho “ cara mambacanya adalah dengan menempelkn ujung lidah ke tengah langit-langit mulut dan di tekan sedikit sambil mengeluarkan angin.
- Huruf “ Dzo “ cara membacanya adalah dengan menempelkan lidah ke gigi depan sambil mengeluarkan angin.
- Huruf A’in “ A’ “ Cara membacanya yaitu dengan melebarkan mulut mengeluarkan angin dari bawah rongga mulut sambil di tekan sedikit.
- Huruf Ghoin “ Gho “ cara membacanya yaitu dengan ilat-ilat tenggorokan mengeluarkan angin sambil menggleper.
- Huruf “ Fa “ cara membacanya ialah dengan mengangkat bibir bawah ke atas sambil mengeluarkan angin.
- Huruf Qof “ Qo “ cara membacanya adalah mengeluarkan angin dari tenggorokan
- Huruf Kaf “ Kha “ cara membacanya adalah mengeluarkan angin dari tenggorokan sedikit agak ke atas dari huruf Qo.
- Huruf Lam “ La “ cara membacanya adalah dengan menekan kan ujung lidah ke langit-langit mulut dan melepaskanya dengan angin yang kuat.
- Huruf Mim “ Ma “ cara membacanya ialah dengan menempelkan bibir bawah dan bibir atas tapi agak menganggrang seukuran kertas tipis.
- Huruf Nun “ Na “ cara membacanya yaitu dengan menempelkan ujung lidah ke atas tengah langit-langit mulut dan melepaskanya dengan angin.
- Huruf Wawo “ Wa “ cara membacanya yaitu dengan mengeluarkan angin sambil mengangkat bibir bawahke depan.
- Huruf “ HA “ cara membacanya dengan mengeluarkan angin dari bawah rongga mulut di atas lebih sedikit huruf Amja.
- Huruf “ ya “ cara membacanya adalah sama seperti pengucapan ejaan bahasa indonesia.
HUKUM BACAN TAJWID
HUKUM NUN MATI DAN TANWIN
Hukum nun mati ( نْ )dan tanwin (---ً-----ٍ-----ٌ- )itu ada 5 (lima) yaitu :
1. Idzhar
Apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu dengan salah satu huruf halqi yakni : hamzah, kha, kho’, ‘ain, ghain , ha ( ء ه ح خ ع غ ) maka hukum bacaannya adalah idzhar halqi yang berarti harus dibaca terang dan jelas seperti contoh dibawah ini :
من أمََنَ , مِنْهُ , غَفُوْرٌ حَلِيمٌ
2. Idghom bighunnah
Apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu dengan salah satu huruf ya’, nun, mimi, dan wawu (ي ن م و) maka hukum bacaannya disebut idghom bighunnah) (إدغام بِغُنَّة yang berarti harus dibaca dengan dimasukkan atau ditasydidkan kedalam salah satu huruf yang empat itu dengan suara mendengung. Seperti contoh dibawah ini :
مَنْ يَقُوْلُ , مِنْ نُوْرٍ , مَنْ مَنَعَ
3. Idghom Bilaghunnah
Apabila ada nun sukun dan tanwin bertemu dengan salah satu huruf lamل) ) dan ra' (ر) maka hukum bacaannya adalah idghom bila ghunnah (إدغام بلاغنًة) yang membacanya dengan cara memasukkan dengan tanpa mendengung. Seperti contoh dibawah ini :
مِنْ رَبِهِمْ , مَنْ لَمْ
4. Iqlab
Apabila ada nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf ba’ (ب) maka hukum bacaannya adalah iqlab (إِقلاب) yang membacanya dengan cara huruf nun atau tanwin itu dibalik atau ditukar menjadi suara mim (م). Seperti contoh berikut :
سميعٌ بَصِيْرٌ , كِرَامٍ بَرَرَةٍ
5. Ikhfa’ Haqiqi
Apabila ada nunu sukun atau tanwin bertemu dengan huruf yang 15 di bawah ini maka hukum bacaannya adalah Ikhfa’ haqiqi yang cara membacanya adalah samar-samar antara idghom dan idzhar. Huruf Ikhfa’ yang 15 antara lain :
ت ث ج د ذ ز س ش ص ض ط ظ ف ق ك
Contoh Ikhfa’ :
مِنْ جُوْعٍ , مِنْكُم , أَ نْفُسَكُمْ
HUKUM BACAAN MIM MATI BERTEMU HURUF HIJAIYAH
Hukum Bacaan Mim Mati Bertemu Huruf Hijaiyah – Apa saja Hukum bacaan mim mati jika bertemu dengan 28 huruf hiaiyah? Nah seperti yang sudah saya pelajari di pondok Darul Huda Ponorogo tempat saya menimba ilmu hukum bacaan tajwid lengkap tajwid, Al-qur’an, hadits, kitab kuning dan lainya bahwa hukum bacaan mim mati itu ada 3 yaitu idghom Mutamasilain/idghom Mislain, Idzhar Syafawi dan Ikhfa’ Syafawi, ketiga-tiganya tersebut memiliki syarat-syarat tersendiri dan juga cara membacanyapun juga berbeda.
Menerapkan hukum bacaan mim mati bertemu huruf hijaiyah Nah bagi para ustadz dan ustadzah di sini pasti sudah tahu kana pa saja itu, tapi tidak menutup kemungkinan untuk orang awam yang baru belajar pastinya belum mengerti apa saja hukum bacaan mim mati jika bertemu dengan huruf hiaiyah. Jika anda merasa lulusan MI, MTS, MA pastinya sudah di ajarkan oleh gurunya masing-masing karena sekolah bernuansa Islami lebih memaukan agamanya seperti halnya di pondok pesantren Darul Huda Mayak Ponorogo. Di pondok anda juga bisa untuk belajar kitab-kitab yang lainya seperti Safinatul Najah, Ilmu fiqih, hadist dan lainya.
Hukum Bacaan Mim Mati/Mim Sukun Dan Contohnya
1. Ikhfaa' syafawi
. |
Ikhfaa syafawi adalah apabila mim sukun bertemu dengan huruf BA’
Ikhfaa artinya samar sedangkan syafawi bermakna bibir. Ini dikarena kan juga huruf MIM adalah termasuk huruf syafawiyyah yaitu huruf hijaiyah yang disamarkan, jadi apabila MIM sukun bertemu dengan huruf BA’ maka suara mim harus disamarkan antar huruf mim dan ba’ kira-kira dua ketukan sehingga seperti mendengung(ghunnah).
Cara membaca bacaan ihkfaa syafawi
- Huruf mim di samarkan
- Disertai dengan mendengung
- Ada tekanan kira-kira 1 Alif atau dua ketukkan
Contoh bacaan Ihkfa Syafawi sebagai berikut
2. Idghom mutamatsilain/Idghom miimi
Idghom mutamasilain di sebut uga sebagai idghom mimi karena huruf mim sukun mati bertemu dengan huruf mim, jadi disebut idghom miimi karena bertemunya kedua huruf mim yang sama setelahnya.
Cara membaca bacaan idghom mutamatsilain adalah dengan cara suara mim sukun dimasukan ke dalam huruf mim yang ada di depanya dengan disertai mendengung.
Contoh bacaan Idghom Miimi
. |
3. Idzhar Syafawi
Hukum Idzhar Syafawi adalah hukum tajwid yang berlaku apabila huruf Mim Sukun ( مْ ) bertemu dengan semua huruf hijaiyah, kecuali huruf Mim dan Ba. Izhar artinya jelas/ terang atau tidak berdengung Syafawi artinya bibir; karena huruf Mim makhrajnya adalah pertemuan bibir bagian atas dan bibir bagian bawah.
Di dalam istilah ilmu tajwid, Izhar Syafawi adalah melafalkan huruf-huruf yang bertemu dengan Mim Sukun secara jelas dan terang, tanpa disertai dengung (ghunnah). Dan Izhar Syafawi dapat terjadi di dalam satu kata/kalimat, maupun di luar kata/kalimat yang terpisah.
Contoh bacaan Idzhar Syafawi
. |
Bagaiamana penjelasan tentang pengertian hukum bacaan mim mati bertemu huruf hijaiyah beserta contohnya, yang bisa anda terapkan ketika membaca Al-Qur’an guna untuk memfasihkan tawid kita dalam membaca Al-Qur’an
HUKUM IDGHOM
Apabila ada huruf mim dan nun yang bertasydid maka hukum bacaannya disebut ghunnah. Adapun tempat keluarnya ghunnah adalah pada jalur hidung, sedangkan lamanya bacaan ghunnah adalah 1 alif atau 2 harokat membacanya harus dibaca dengan suara dengung.
Contoh : بِرَ بِّ النَّا سِ , ثمّ , ِإنّّ
Keterangan :
Enam bacaan yang di dalamnya terdapat bacaan ghunnah (dengung) yaitu: idghom bighunnah, iqlab, ikhfa’ haqiqi, ikhfa’ syafawy, idghom mimy, mim atau nun yang bertasydid.
Idghom
a. Definisi Idghom
Idghom menurut bahasa/etimologi adalah memasukkan sesuatu pada sesuatu. Idhghom menurut istilah/terminologi adalah bercampurnya dua huruf yang sama (yang pertama mati / sukun yang kedua hidup), baik huruf itu semisal, sejenis atau berdekatan makhorijul huruf dan sifatnya sehingga kedua huruf tersebut seperti satu huruf yang bertasydid.
b. Pembagian Idghom
Menurut ittifaq ulama Qurro’, idghom ini (idghomnya semua huruf Hijaiyyah yang dilihat dari makhraj dan sifatnya huruf) dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Idghom Mutamatsilain
Yaitu apabila ada dua huruf yang sama baik makhroj dan sifatnya seperti ba’ mati bertemu dengan ba’ atau dal mati bertemu dengan dal, maka harus diidghomkan menurut kesepakatan ulama’ Qurro’, baik bertemunya dalam satu kalimat atau lain kalimat.
Contoh : َيغْتَبْ بَعْضُكُمْ , يُوَجِّهْهُ
Yang demikian itu terkecuali huruf mad yaitu ya’ mati bertemu dengan ya’ jatuh setelah kasroh dan wawu mati jatuh setelah dhommah bertemu dengan wawu, sebagaimana kesepatan ulama qurro’. Hal ini dikarenakan agar sifat huruf mad itu masih tetap dan tidak hilang.
Contoh : ِفىْ يَوْ مٍ , قَالُوْا وَهُمْ
2. Idghom Mutajanisain
Apabila ada dua huruf yang sama makhrojnya akan tetapi berbeda sifatnya. Seperti dal bertemu ta’, ta’ bertemu dal dan sebagainya.
Contoh : َيلْهَثْ ذّالِكَ , قَدْ تَّبَيّنَ , اَ ثْقَلَتْ دَّعَوَالله
Adapun kalimat ِاِرْكبْ مَّعَنَا menurut Imam Hafs ‘an ‘Ashim cara membacanya harus diidghomkan dan disertai dengan dengung, sedangkan lafadh َبسَطْتَ dibaca dengan Idghom Naqish. Yaitu sifat huruf tho’ (Isti’la’) masih tetap tampak.
3. Idghom Mutaqoribain
Apabila ada dua huruf yang berdekatan baik makhrojnya maupun sifatnya .
Contoh : قُلْ رَّبِّ , اَلمْ نخْلُقْكُمْ
Keterangan :
1. Semua bacaan idghom sebagaimana tersebut diatas dengan riwayat Hafs ‘an Ashim, huruf yang di idghomkan harus huruf yang sukun disebut idghom shoghir. Maka apabila huruf yang di idghomkan adalah huruf yang hidup disebut idghom kabir
Contoh : كَيْفَ فَعَلَ ، فِيْهِ هُدًى ، فَعَلَ رَبُّكَ dan semua idghom kabir Imam Hafs ‘an Ashim tidak ikut membacanya.
2. Menurut Imam Hafs ‘an Ashim sebagaimana disebutkan pada kitab Jazariyah, bahwa apabila semua huruf yang diidghomkan terdiri dari huruf isti’la’ (خص ضغط قظ)maka harus dibaca idghom Naqis.
Contoh : نَخْلُقْكُمْ ، بَسَطْتَ
3. Idghom mutajanitsain / mutamatsilain / mutaqoribain, apabila mudghomnya huruf dal, maka hanya masuk pada huruf dal atau ta’.
Contoh : لَقَدْ دَخَلُ ، أَبَدْ تُمْ
HUKUM MIM DAN NUN TASYDID
Hukum Mim dan Nun Tasydid - Mim dan Nun yang bertasydid biasa disebut dengan Gunnah. Huruf yang bertasydid pada dasarnya berasal dari 2 huruf, yang pertama sukun dan yang kedua berharakat.
Mim Tasydid, yaitu:
. |
Mim Tasydid berasal dari 2 huruf mim, yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Mim yang pertama dimasukkan/berpadu ke dalam mim yang kedua, maka terjadilah satu huruf yang bertasydid. Hukum Mim tasydid adalah harus dibaca ghunnah (mendengung), 2 harakat.
Nun Tasydid, yaitu:Nun Tasydid berasal dari 2 huruf nun, yang pertama sukun dan yang kedua berharakat. Nun yang pertama dimasukkan/berpadu ke dalam nun yang kedua, maka terjadilah satu huruf yang bertasydid. Hukum Nun tasydid adalah harus dibaca ghunnah (mendengung), 2 harakat.
Bacaan yang diucapkan dengan dengung atau sengau dalam hidung seperti bunyi ‘…nnn…’, ‘ ….mmm….’, ‘….ng….’. dapat terjadi bila bertemu Nun bertasydid , maka ghunnah atau dengung ( …..nnn….) harus diucapkan. Suara dengung tersebut disebut Ghunnah Nuun. Juga jika bertemu Mim bertasydid maka dengung ( ….mmm….) harus diucapkan juga, dan suara dengung tersebut disebut Ghunnah Miim. Ghunnah Nuun dan Miim masing-masing sepanjang 2 sampai 3 harkat.
Contoh :
TSUM-MA LAM-MA IN-NAHUM AN-NUJUUM
Nun dan Mim yang bertasydid itu asalnya masing-masing kembar dua hurufnya, yang pertama bertanda saksi sukun (mati) dan yang kedua diganti dengan tanda saksi tasydid. Sedangkan panjang bunyi suara dengungnya 2 – 3 harkat (ketukan).
Contoh :
TSUM-MA berasal dari TSUM-MA
IN-NAHUM berasal dari IN-NAHUM
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين
HUKUM ALIF LAM MA'ARIFAH
. |
Alif Lam Ta’rif atau sering disebut juga dengan Alif Lam Ma’rifah adalah hukum Tajwid yang berlaku untuk kata yang diawali dengan huruf Alif-Lam ( ال ). Diistilahkan dengan Ta’rif atau Ma’rifat karena membahas “suatu nama benda (isim)” secara khusus -sudah dikenal atau seringkali disebutkan- secara jelas dan tegas.
Misalnya, النَّجْمُ yang berarti bintang atau الْكٰفِرُوْنَ yang berarti orang-orang kafir.
Penggunaan Alif-Lam ( ال ) pada Asmaul Husna (nama-nama baik Allah -subhanahu wa ta’ala-) juga termasuk dalam hukum Alif Lam Ta’rif. Kecuali, penyebutan untuk huruf Lam yang terdapat dalam lafal ALLAH ( اللهُ ), yang berlaku adalah Hukum Alif Lam Jalalah.
Hukum Alif-Lam ( ال ) dapat terjadi di awal maupun di tengah ayat. Cara membacanya sangat berpengaruh dengan huruf setelahnya. Dan apabila diwashalkan, sangat terikat dengan huruf sebelumnya.
Hukum Alif Lam Ta’rif terdiri dari dua macam, yaitu:
- Alif Lam Qamariah
- Alif Lam Syamsiah
Sebelum masuk pada kedua hukum tersebut, ada baiknya sedikit mengenal tentang Hamzah Washal berharakat Fathah.
Hamzah Washal pada Hukum Alif Lam Qamariah dan Syamsiah
Huruf Alif pada hukum Alif Lam Qamariah dan Alif Lam Syamsiah memiliki fungsi sebagai penyambung kata yang dikenal dengan nama Hamzah Washal, ada pula yang menyebutnya dengan istilah Alif Washal. Hamzah Washal adalah huruf hamzah secara pengucapan dan berupa Alif secara tulisan.
Hamzah Washal pada Hukum Alif Lam Qamariah dan Alif Lam Syamsiah selalu berharakat Fathah.
Perlu diketahui bahwa huruf Alif pada mushaf standar Indonesia untuk Hukum Alif Lam Qamariah dan Alif Lam Syamsiah – diawal ayat atau di samping tanda waqaf – terjadi ketidakkonsistenan. Seringkali Alif dibantu dengan harakat Fathah, namun ada banyak pula ayat yang tidak dituliskan harakat Fathah.
Penulisan harakat Fathah pada hukum Alif-Lam Ta’rif pada mushaf standar Indonesia tentunya berdasarkan Musyawarah Kerja Ulama Ahli Al-Quran berserta Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran Indonesia. Kemungkinan besar, tujuan penambahan harakat Fathah tersebut adalah untuk memberikan kemudahan bagi pembaca Al-Quran yang awam (tidak begitu dalam memperlajari Ilmu Tajwid dan Ilmu Nahwu) bagaimana membaca huruf Alif Gundul (tanpa harakat). Namun, konsekuensi dari penambahan harakat tersebut dapat menyebabkan terjadinya kekeliruan bagi pembaca Al-Quran yang awam apabila hendak mewashal. Maka, apabila belum mengetahui Hukum Hamzah Washal sebaiknya berhati-hati dalam mewashal, atau sebaiknya hindari untuk mewashalkan ayat satu ke ayat berikutnya.
. |
Pada mushaf Timur Tengah, huruf Hamzah Washal ditandai dengan simbol Kepada Huruf Shad di atas huruf Alif, ada yang menyebutnya dengan istilah Sakna.
1. Hukum Alif Lam Qamariah
Sebelum membaca Hukum Alif Lam Qamariah ini, sebaiknya terlebih dahulu membaca Hukum Alif Lam Ta’rif.
Apabila sudah selesai, silahkan lanjut membaca!
الـقـمرية
Alif Lam Qamariah atau sering disebut juga dengan Izhar Qamariah adalah salah satu bagian dari hukum Alif Lam Ta’rif yang berlaku apabila huruf Alif-Lam ( ال ) bertemu dengan salah satu dari 14 Huruf Qamariah, yaitu:
١، ب ، ج ، ح ، خ ، ع ، غ ، ف ، ق ، ك ، م ، و ، ي ، ه
CONTOH HUKUM ALIF LAM QAMARIAH:
. |
Qamariah berasal dari kata qamarun, artinya bulan. Secara filosofis, bulan adalah benda langit yang dapat dilihat manusia secara jelas.
Cara membaca Hukum Alif Lam Qamariah adalah jelas, tegas (tidak diidghamkan) atau tidak berdengung. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membaca Hukum Alif Lam Qamariah.
1. Apabila terletak di awal ayat atau Ibtida’ (memulai bacaan setelah waqaf/berhenti), huruf Alif dibaca sebagaimana huruf berharakat Fathah, sekalipun di atas huruf Alif tersebut tidak ditulis harakat Fathah. Sementara huruf Lam dibaca Sukun. Dan secara otomatis huruf Alif-Lam akan dibaca “AL”.
2. Apabila terletak di tengah ayat (washal di tengah ayat), huruf Alif tidak dibaca, dan huruf Lam dibaca Sukun
CONTOH
. |
Huruf O, pada tulisan latin untuk kata Qooriah di atas adalah untuk menunjukkan suara bacaan.
Mengikuti Hukum Tajwid, harusnya ditulis dengan menggunakan huruf A, bukan O, yaitu Qaari’ah.
. |
Hamzah Washal pada Hukum Alif Lam Qamariah
Sebagaimana telah dijelaskan di dalam pengertian Hukum Alif Lam Ta’rif, huruf Hamzah Washal pada Hukum Alif Lam Qamariah – diawal ayat atau di samping tanda waqaf – seringkali dibantu dengan harakat Fathah. Namun, ada banyak pula ayat yang tidak dituliskan harakat Fathah.
Perlu diketahui, Mushaf Timur Tengah tidak mengharakati Hamzah Washal. Sedangkan mushaf standar Indonesia, terkadang memberikan harakat Fathah pada Hamzah Washal, terkadang tidak mengharakatinya sama sekali.
Ciri-ciri Alif Lam Qamariah yang tidak diharakati Fathah, selalu diikuti dengan tanda waqaf Mamnu (Lam-Alif) di atas Ra’su Ayat (di ujung ayat).
. |
3. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, cara membaca Hukum Alif Lam Qamariah selanjutnya, apabila ingin mewashalkan ayat (menyambungkan antara ayat yang satu ke ayat berikutnya); maka huruf Alif (Hamzah Washal) dianggap tidak ada, dan langsung masuk ke huruf Lam Sukun. Dan perhatikan pula apakah terdapat Waqaf Mamnu’ di sampingnya atau tidak.
Waqaf Mamnu’ ( ممنُوع ) adalah waqaf yang disimbolkan dengan huruf Lam-Alif ( ﻻ ), yaitu tanda waqaf yang diberikan kepada pembaca Al-Quran agar JANGAN BERHENTI (WAQAF TERLARANG). Apabila terpaksa harus berhenti di tanda waqaf ini, maka bacaan harus dimundur. Cara membaca seperti ini berlaku apabila Waqaf Mamnu’ berada di tengah ayat.
Namun, jika Waqaf Mamnu’ berada di Ujung Ayat (Ra’su Ayat), dipersilahkan berhenti dan boleh juga tidak, karena sebagian besar ahli tafsir Al-Quran menganggap membaca Al-Quran satu ayat-satu ayat- dianggap sudah baik maknanya, bukan waqaf Qabih ( ﻗﺒﻴﺢ ) yang bermakna buruk.
Kecuali pada Surah Al Maa’uun ayat 4, menurut sebagian besar Ahli Tafsir mesti disambung (washal) ke Ayat 5, karena apabila terputus di ayat 4, maknanya kurang baik (Insya Allah akan dijelaskan di pembagian Waqaf).
Silahkan perhatikan perbedaan mushaf standar Indonesia dan Timur Tengah di bawah ini!
Hamzah Washal pada hukum Alif Lam Qamariah pada Mushaf Timur Tengah ditandai dengan simbol Sakna (kepada Huruf Shad di atas huruf Alif), sementara di Indonesia tidak ada baris/harakat. Namun, pada kata Al-Maliku (Alif yang diwarna merah, lihat contoh di bawah) pada mushaf Indonesia, untuk huruf Hamzah Washal-nya diberi harakat Fathah.
Bandingkan juga dengan contoh Surah Al-Qaariiah dan Al-Kahfi yang tidak diberi harakat Fathah pada contoh di atas.
. |
Dari Contoh surah Al-Hasyr ayat 23 di atas, salah satu ciri-ciri Alif Lam Qamariah ( ال ) yang diberi harakat Fathah pada mushaf standar Indonesia, selalu diikuti dengan tanda Waqaf yang dianggap sudah sempurna atau baik maknanya. Seperti Waqaf Jaiz yang disimbolkan huruf Jim ( ج ) pada surah Al-Hasyr di atas.
Waqaf Jaiz adalah tanda waqaf yang diberikan agar pembaca Al-Quran sebaiknya berhenti, namun diperbolehkan juga untuk tidak berhenti.
Bandingkan pula dengan Waqaf Mamnu’ pada contoh Surat At-Takwir ayat 15-16 sebelumnya, tidak ada harakat Fathah di atas Hamzah Washal.
Sekarang Perhatikan huruf Hamzah Washal pada Surah Al-Hasyr di atas, yang hurufnya diberi warna Ungu!
Jika bacaan terpaksa berhenti di Al-Muhamin karena kekurangan nafas, maka bacaan boleh diulang di Al-Mu’min atau di As-Salaam. Sehingga bacaan dilanjutkan menjadi, “Al-Mu’minul Muhaiminul Aziizul Jabbaarul Mutakabbir”.
Inilah yang dinamakan dengan Ibtida’, yaitu memulai bacaan setelah waqaf. Dan menghidupkan Alif Gundul (Hamzah Washal) di tengah Ayat.
4. Hal yang perlu diperhatikan untuk membaca huruf Alif Lam Qamariah yang terakhir adalah apabila Lam-Alif ( ال ) bertemu dengan Tanwin (dapat berupa Fathatain, Kasrahtain, Dhammatain).
Cara membacanya yaitu menggantikan tanwin menjadi harakat biasa (jika fathatain menjadi harakat fathah, kasrahtain menjadi kasrah, dan dhammatain menjadi dhammah), sementara Hamzah Washal, diganti menjadi suara huruf Nun berharakat Kasrah, atau dibaca “NI”.
Mushaf standar Indonesia sudah dibantu dengan huruf Nun kecil berharakat Kasrah dibawah Hamzah Washal, atau disebut dengan huruf Nun Wiqayah, dan harus dibaca ‘Ni’. Fungsi Nun Wiqayah adalah untuk menjaga agar Tanwin tidak hilang ketika bertemu dengan Hamzah Washal.
SEKEDAR CONTOH:
. |
Huruf Nun Wiqayah sebagai pengganti Tanwin yang terletak dibawah Hamzah Washal hanya ada di dalam mushaf standar Indonesia. Pada mushaf Timur Tengah, istilah Nun Wiqayah tidak dikenal.
Kesimpulan Penting:
Huruf Alif pada hukum Alif Lam Qamariah disebut Hamzah Washal, ada juga yang menyebutnya dengan istilah Alif Washal. Hamzah Washal adalah huruf hamzah secara pengucapan dan berupa Alif secara tulisan.
Apabila terletak di awal ayat atau ibtidah (memulai bacaan setelah waqaf), huruf Hamzah Washal pada Hukum Alif Lam Qamariah akan selalu berharakat Fathah. Sedangkan jika terletak di tengah atau pada saat washal (menyambungkan kata/kalimat), huruf Hamzah Washal tidak dibaca.
Mushaf Standar Indonesia pada Hukum Alim Lam Qamariah terkadang mengharakati Hamzah Washal dan terkadang tidak mengharakatinya. Maka sebaiknya perhatikan benar-benar apabila ingin mewashalkan kalimat (antara ayat satu ke ayat berikutnya).
Jika terdapat harakat Fathah pada Hamzah Washal lebih baik berhenti di tanda waqaf.
Jika tidak ada harakat Fathah di atas Hamzah Washal disamping Ra’su Ayat (di ujung ayat), boleh berhenti atau meneruskan bacaan (washal). Umumnya di atas Ra’su Ayat terdapat tanda Waqaf Mamnu ( ﻻ ), artinya boleh berhenti atau meneruskan bacaan apabila di ujung ayat.
Jika terdapat Nun Wiqayah dibawah Hamzah Washal, harus dibaca Ni. Nun Wiqayah adalah huruf pengganti Tanwin yang hanya ada di mushaf standar Indonesia. Disimbolkan dengan huruf Nun Kecil berharakat Kasrah yang diletakkan di bawah Hamzah Washal.
Jika sebelum Ra’su Ayat terdapat huruf Berharakat Tanwin, dan setelahnya adalah Hamzah Washal. Perhatikan, apakah ada huruf Nun Wiqayah atau tidak di bawah Hamzah Washal-nya. Jika tidak ada, lebih baik berhenti di Tanda Waqaf untuk menghindari kekeliruan.
2. Hukum Alif Lam Syamsiah
الـشّمسية
Alif Lam Syamsiah atau sering disebut dengan Idgham Syamsiah adalah bagian dari hukum Alif Lam Ta’rif yang berlaku apabila huruf Alif-Lam ( ال ) bertemu dengan salah satu dari 14 Huruf Syamsiah, yaitu:
ت , ث , د , ذ , ر , ز , س , ش , ص , ض , ط , ظ , ل , ن
. |
Syamsiah berasal dari kata syams, artinya matahari. Secara filosofis, matahari adalah benda langit yang sinarnya dapat meleburkan, menguapkan, dan melenyapkan benda-benda lain.
Di dalam Al-Quran, ciri-ciri Hukum Alif Lam Syamsiah terdapat Tanda Tasydid di atas huruf Syamsiah, yaitu tanda tasydid yang diberikan karena terjadinya hukum pertemuan antara huruf Alif-Lam dengan Huruf Syamsiah.
Sama seperti Hukum ALif Lam Qamariah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membaca Hukum Alif Lam Syamsiah :
1. Apabila terletak di awal ayat atau Ibtida’ (memulai bacaan setelah waqaf), huruf Alif dibaca sebagaimana huruf berharakat Fathah. Sementara huruf Lam tidak dibaca atau dianggap tidak ada, karena melebur dengan huruf Syamsiah atau dibaca idgham.
Dan cara membaca seperti ini tetap berlaku sekalipun di atas huruf Syamsiah tidak terdapat tanda tasydid.
. |
2. Apabila terletak di tengah ayat (washal di tengah ayat), huruf Alif-Lam tidak dibaca. Jadi huruf sebelumnya langsung dileburkan ke huruf Syamsiah.
CONTOH:
. |
Huruf O, pada tulisan latin untuk kata ‘Adrooka’ dan ‘Thooriq’ di atas adalah untuk menunjukkan suara bacaan.
Mengikuti Hukum Tajwid, harusnya ditulis dengan menggunakan huruf A, bukan O, yaitu Thaariq atau Adraaka
Hamzah Washal pada Hukum Alif Lam Syamsiah
Di dalam pengertian Hukum Alif Lam Tarif, telah dijelaskan bahwa Hamzah Washal adalah huruf Alif dalam penulisan, dan Hamzah dalam penyebutan. Sering disebut juga dengan Alif Washal. Fungsinya adalah sebagai penghubung kata/kalimat.
Pada mushaf standar Indonesia, Hamzah Washal pada Hukum Alif Lam Syamsiah seringkali dibantu dengan harakat Fathah, dan ada banyak pula ayat yang tidak diberi harakat Fathah. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah Hamzah Washal pada Hukum Alif Lam Syamsiah selalu berharakat Fathah.
Lihat Contoh Surah Al Fatihah ayat 3 di bawah, dibaca “Ar-Rohmaan”.
Dan apabila diwashalkan dengan ayat sebelumnya, Hamzal Washal-nya tidak dibaca.
. |
3. Jadi, cara membaca Alif Lam Syamsiah berikutnya, apabila ingin mewashalkan ayat (menyambungkan antara ayat yang satu ke ayat berikutnya); maka huruf Alif-Lam tidak dibaca, dan langsung masuk ke huruf Syamsiah.
Tasydid pada semua huruf Syamsiah, kadar panjang bacaannya adalah 1 Alif atau sekitar 2 harakat, kecuali untuk huruf Nun ( النّ ), panjang bacaannya sama seperti Hukum Ghunnah Musyaddadah, yaitu 1 1/2 Alif atau sekitar 2-3 harakat. Dan perhatikan pula -apabila mewashal- apakah terdapat Waqaf Mamnu’ disampingnya atau tidak. Jika tidak ada Waqaf Mamnu’, sebaiknya hindari untuk mewashal.
Dan perlu diingatkan, jangan mencoba-coba mewashalkan Surah Al-Fatihah pada Shalat Wajib, sekalipun sudah mengetahui cara mewashal. Al-Fatihah adalah rukun shalat. Membaca Surah Al-Fatihah satu ayat-satu ayat sudah sempurna maknanya.
4. Hal yang perlu diperhatikan untuk membaca huruf Alif Lam Syamsiah yang terakhir adalah apabila Lam-Alif ( ال )bertemu dengan Tanwin (dapat berupa Fathatain, Kasrahtain, Dhammatain).
Cara membacanya sama dengan hukum Alif Lam Qamariah yaitu menggantikan tanwin menjadi harakat biasa (jika fathatain menjadi harakat fathah, kasrahtain menjadi kasrah, dan dhammatain menjadi dhammah), sementara Hamzah Washal, diganti menjadi suara huruf Nun berharakat Kasrah, atau dibaca “NI”.
Kemudian, Nun Wiqayah atau Nun Kecil yang terletak dibawah Hamzah Washal tersebut langsung dileburkan atau diidghamkan ke huruf Syamsiah.
CONTOH:
. |
. |
Washal pada kata/kalimat Alladzi ( الَّذِ )
Di dalam Al-Quran, banyak ayat yang menuliskan kata/kalimat Alladzi ( الَّذِ ). Dapat terjadi di awal maupun di tengah ayat.
Kata/kalimat Alladzi diperbolehkan diwashalkan dengan ayat sebelumnya. Umumnya, bacaan yang seringkali washal (antara yang satu ke ayat berikutnya) adalah bacaan Murottal.
Contoh:
. |
Namun, terdapat 7 (tujuh) ayat yang tertulis kata/kalimat Alladzi ( الَّذِ ), dan menurut sebagaian ulama tafsir dilarang untuk mewashalkan dengan ayat sebelumnya, yaitu:
Surah Al-Baqarah : ayat 3
Surah Al-Baqarah : ayat 146
Surah Al-Baqarah : ayat 275
Surah At-Taubah : ayat 20
Surah Al-Furqaan : ayat 34
Surah Al-Mu’min / Al Ghafir : ayat 7
Surah An-Naas : ayat 5