Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada hari Arafah. Apakah hari Arafah didasarkan atas penetapan pemerintah Saudi Arabia, terkait dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, ataukah berdasarkan ketetapan pemerintah setempat?
Kesunnahan puasa Arafah bukan didasarkan adanya wukuf, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia berbeda dengan di Saudi Arabia. Toleransi terhadap adanya perbedaan ini didasarkan atas hadits Sahabat Kuraib berikut ini:
عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ اَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ كُرَيْبٍ: اَنَّ اُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ اِلَى مُعَاوِيَةَ باِلشَّامِ قاَلَ كُرَيْبٌ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَاَنَا باِلشَّامِ فَرَاَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِيْ اَخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ فَقُلْتُ: رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ: اَنْتَ رَاَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوْا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ: لَكِنَّا رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ الثَّلاَثِيْنَ اَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ: اَوَ لاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَ صِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ هَكَذَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
“Dari Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib, bahwa Ummul Fadl binti al-Harits mengutus Kuraib menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata: Aku tiba di Syam. Lalu aku tunaikan keperluan Ummul fadl. Dan terlihatlah hilal bulan Ramadlan olehku, sedang aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan Ramadlan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, dan ia menyebut hilal. Ia berkata: “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Malam Jum’at.” Dia bertanya: “Apakah kamu sendiri melihatnya?” Aku menjawab: “Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa, demikian juga Mu’awiyah.” Dia berkata: “Tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa sehingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal”. Aku bertanya: “Apakah kamu tidak cukup mengikuti rukyah Mu’awiyah dan puasanya?” Lalu dia menjawab: “Tidak, demikianlah Rasulullah SAW menyuruh kami,” (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil di atas maka rukyatul hilal atau observasi bulan sabit untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku rukyat nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum.
Di Indonesia, hasil penyelenggaraan rukyatul hilal, termasuk rukyat yang diadakan oleh Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) dilaporkan terlebih dahulu ke sidang itsbat (penetapan) yang dilakukan Departemen Agama RI, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Ketika para sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW. Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya.
Itsbat adalah suatu terminologi fiqh untuk suatu penetapan negara tentang awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah. Di Indonesia wewenang itsbat didelegasikan kepada Menteri Agama RI. Menurut fiqh, itsbat harus didasarkan dalil rajih, yakni rukyatul hilal. Dalam mengambil itsbat, Menteri Agama RI menyelenggarakan sidang itsbat pada hari telah diselenggarakan rukyatul hilal, dan dihadiri anggota Badan Hisab Rukyat (BHR), wakil-wakil Ormas Islam, pejabat-pejabat terkait, dan para duta dari negara-negara sahabat.
Menteri Agama RI dalam itsbatnya didasarkan atas dasar rukyatul hilal dan hisab. Itsbat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI berlaku bagi seluruh ummat Islam di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa terkecuali. Perbedaan yang mungkin terjadi harus sudah selesai ketika itsbat dikeluarkan, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan para sahabat. Setelah itsbat dilakukan baru diadakan ikhbar atau pengumuman awal bulan.
Dengan demikian penentuan awal bulan Qamariyah harus berdasarkan 4 aspek:
1. Aspek Syar’i, dalam bentuk pelaksanaan rukyatul hilal
2. Aspek Astronomis, dalam bentuk memperhatikan kriteria-kriteria imkanur rukyat tentang dzuhurul hilal (penampakan bulan sabit)
3. Aspek Geografis, dalam bentuk menerima rukyat nasional
4. Aspek Politis, yakni aspek intervensi negara dalam bentuk itsbat dalam kerangka wawasan NKRI dan mengatasi perbedaan
Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah, karena adanya perbedaan wilayah hukum (wilayatul hukmi), termasuk perbedaan dalam menentukan hari Arafah yang sedang kita bahas kali ini.
Adapun tentang keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
“Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)
KH A Ghazalie Masroeri
Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)
No comments:
Post a Comment