Istilah-Istilah Dalam Al-Qur'an (Ayat-Ayat Ghoribah)
بسم الله ارحمن الرحيم
Istilah-Istilah Dalam Al-Qur'an (Ayat-Ayat Ghoribah)
Dalam Al-Qur'an terdapat sejumlah istilah atau ayat-ayat yang hanya ada di surat-surat tertentu yang harus kita kuasai, dengan mengkaji secara khusus dalam rangka lebih menyempurnakan tilawah kita. Tilawah berasal dari kata tala yaitu tilawatan artinya “Bacaan”.
Istilah-istilah itu adalah sebagai berikut ,
Huruf Muqotho’ah terdapat pada ayat pertama surat-surat tertentu sebagai pembuka surat, oleh karena itu Huruf Muqotho’ah juga disebut Fawatikhus Suwar.
Secara garis besar, Huruf Muqotho’ah dibaca dengan 3 pola sebagai berikut :
Pertama : Tidak ada mad (pemanjangan suara) yaitu huruf Alif. Huruf Alif sebagai Huruf Muqotho’ah dibaca dengan bunyi “Alif”
Kedua : Mad sepanjang 2 ketukan, terjadi pada huruf-huruf berikut: Haya Thohara
Ketiga : Mad sepanjang 6 ketukan, terjadi pada huruf-huruf berikut : Naqushu 'Asalukum
Contoh ayat yang mengandung Huruf Muqotho’ah adalah:
Huruf berwarna merah dibaca dengan durasi 2 ketukan, sedangkan huruf berwarna biru panjangnya 6 ketukan.
Bagaimana cara membedakan huruf yang dibaca 2 ketukan dan 6 ketukan? Perhatikan bedanya! Huruf-huruf yang apabila dituliskan namanya, ia terdiri dari 2 huruf, maka ia dibaca 2 ketukan (seperti : ro', ha, ya, tho dan kha). Huruf-huruf yang apabila dituliskan namanya, ia terdiri dari 3 huruf, maka ia dibaca 6 ketukan, seperti : nun, qaf, shod, ‘ain, sin, lam, kaf dan mim).
Cara membaca :
Panjang bacaan pada “siiiiin” adalah 6 ketukan, yaitu dari ketukan ke-3 hingga ketukan ke-8. Dan panjang bunyi “miiiiim” adalah 6 ketukan, yaitu dari ketukan ke-12 hingga ketukan ke-17. Diantara keduanya (siiiiin dan miiiiim) ada bunyi ghunnah (dengung), karena sifat bunyi “n” akan melebur ke bunyi “m”. Durasi bacaan ghunnah adalah 4 ketukan, dari ketukan ke-9 hingga ketukan ke-12. Karena itu, praktek pembacaan Mad Lazim Harfi Mutsaqol adalah :
Ketukan ke-3 berbunyi “si”. Pertahankan bunyi “i” hingga ketukan ke-8. Yang terdengar panjang adalah bunyi “i”-nya. Bunyi “i” dari ketukan ke-3 hingga ketukan ke-8 tidak boleh terputus. Bunyi “i” tersebut menghilang bersamaan dengan tersambarnya bunyi “m” pada ketukan ke-8.
Dengungnya bunyi “m” dimulai sejak ketukan ke-8, namun mulai dihitung ketukannya sejak ketukan ke-9 hingga ketukan ke-12. Dengungan suara “m” sejak ketukan ke-9 hingga ketukan ke-12 tidak boleh terputus. Bunyi dengung “m” akan menghilang bersamaan dengan bunyi “mi” pada ketukan ke-12.
Bersamaan dengan ketukan ke-12 terdengar bunyi “mi”. Pertahankan bunyi “i” hingga ketukan ke-17. Yang terdengan panjang adalah bunyi “i”-nya. Bunyi “i” dari ketukan ke-12 hingga ketukan ke-17 tidak boleh terputus. Bunyi “i” tersebut menghilang bersamaan dengan tersambarnya bunyi “m” pada ketukan ke-17. Bunyi “m” terakhir, menghilang bersamaan dengan jatuhnya ketukan ke-18
.
Contoh lain adalah sebagai berikut :
Contoh lain:
Bagaimana cara membedakan huruf yang dibaca 2 ketukan dan 6 ketukan? Perhatikan bedanya! Huruf-huruf yang apabila dituliskan namanya, ia terdiri dari 2 huruf, maka ia dibaca 2 ketukan (seperti : ro', ha, ya, tho dan kha). Huruf-huruf yang apabila dituliskan namanya, ia terdiri dari 3 huruf, maka ia dibaca 6 ketukan, seperti : nun, qaf, shod, ‘ain, sin, lam, kaf dan mim).
Cara membaca :
Panjang bacaan pada “siiiiin” adalah 6 ketukan, yaitu dari ketukan ke-3 hingga ketukan ke-8. Dan panjang bunyi “miiiiim” adalah 6 ketukan, yaitu dari ketukan ke-12 hingga ketukan ke-17. Diantara keduanya (siiiiin dan miiiiim) ada bunyi ghunnah (dengung), karena sifat bunyi “n” akan melebur ke bunyi “m”. Durasi bacaan ghunnah adalah 4 ketukan, dari ketukan ke-9 hingga ketukan ke-12. Karena itu, praktek pembacaan Mad Lazim Harfi Mutsaqol adalah :
Ketukan ke-3 berbunyi “si”. Pertahankan bunyi “i” hingga ketukan ke-8. Yang terdengar panjang adalah bunyi “i”-nya. Bunyi “i” dari ketukan ke-3 hingga ketukan ke-8 tidak boleh terputus. Bunyi “i” tersebut menghilang bersamaan dengan tersambarnya bunyi “m” pada ketukan ke-8.
Dengungnya bunyi “m” dimulai sejak ketukan ke-8, namun mulai dihitung ketukannya sejak ketukan ke-9 hingga ketukan ke-12. Dengungan suara “m” sejak ketukan ke-9 hingga ketukan ke-12 tidak boleh terputus. Bunyi dengung “m” akan menghilang bersamaan dengan bunyi “mi” pada ketukan ke-12.
Bersamaan dengan ketukan ke-12 terdengar bunyi “mi”. Pertahankan bunyi “i” hingga ketukan ke-17. Yang terdengan panjang adalah bunyi “i”-nya. Bunyi “i” dari ketukan ke-12 hingga ketukan ke-17 tidak boleh terputus. Bunyi “i” tersebut menghilang bersamaan dengan tersambarnya bunyi “m” pada ketukan ke-17. Bunyi “m” terakhir, menghilang bersamaan dengan jatuhnya ketukan ke-18
.
Contoh lain adalah sebagai berikut :
Contoh lain:
qoo..oo..oof------------------------------
|
قٓ
|
aii..ii..iinnnsii..ii..iing..ng..ngqoo..oo..oof---
|
عٓسٓق
|
yaasii..ii..iin-----------------------------
|
يٰسٓ
|
Toohaa----------------------------------
|
طٰهٰ
|
toosii..ii..ii..mmmii..ii..iim-----------------
|
طٰسٓمّٓ
|
ĥaamii..ii..iim---------------------------
|
حٰمٓ
|
aliflaa..aa..aammmii..ii..iimroo-----------
|
الٓمّٓرٰ
|
aliflaa..aa.aammmii..ii.ii..mshoo..oo..oo..d
|
الٓمّٓص
|
nuu..uu..uun-----------------------------
|
نٓ
|
shoo..oo..ood----------------------------
|
صٓ
|
kaafhaayaa'aii..ii..ii..nnnshoo..oo..oo..d---
|
كٰهٰيٰعٓصٓ
|
Sumber: http://www.piss-ktb.com/2012/11/2037-huruf-muqatthaah.html
2. Hamzah Washol
Hamzah Washol adalah huruf Hamzah yang apabila berada paling awal, ia dibaca dan berbunyi a, i dan u. Ketika ada ditengah, hamzah washol tidak terbaca.
Hamzah Washol berada di dua tempat. Ia muncul sebagai tanda kata benda bersamaan dengan huruf Lam (ا dan ل ) ia selalu dibaca “a”. Ia juga muncul sebagai tanda kata kerja perintah (fi’il amr), dan ia mungkin dibaca dengan bunyi “i” atau “u”.
Contoh Hamzah washol yang dibaca berbunyi “a”
Contoh Hamzah washol yang dibaca berbunyi “i”
Contoh Hamzah Washol Yang Dibaca “u”
Hamzah Washol di tengah bacaan tidak dibaca, namun muncul bunyi “ni” karena hamzah washol didahului huruf bertanwin
Contoh berikut ini, mungkin akan memperjelas pemahaman tentang Hamzah Washol. Huruf yang ditampilkan dengan warna merah, itulah yang disebut dengan Hamzah Washol. Sementara itu huruf yang ditampilkan dengan warna hijau disebut dengan Alif, sedangkan huruf berwarna biru disebut sebagai Hamzah Qotho’.
3. Nun Wiqoyah
Nun yang ditambah pada bacaan bila kata yang ber-akhiran tanwin (baris dua) bertemu dengan kata yang berawal dengan Alif Lam (ال) atau Hamzah Wasal (ا) .
Nun ini juga disebut dengan Nun Wasal atau Nun 'Iwadh, atau Nun Pengganti. Nun Wiqoyah dibaca dengan baris bawah (kasrah). Dalam al-Qur'an al-Majid nun ini ditulis dengan nyata, Manakala dalam al-Qur’an al-Karim (Rasam Utsmani) nun ini tidak ditulis dengan nyata tetapi dari segi bacaannya ianya hendaklah dibunyikan.
Di antara ayat-ayat yang terdapat Nun Wiqoyah;
1. Surah Al-Baqarah : ayat 180 ( ) dan dibaca dengan ; (Khairanil wasiyyah)2. Surah Yusuf : ayat 8 - 9 ( ) dan dibaca dengan ; (Mubiini niqtulu)3. Surah Kahf : ayat 88 ( ) dan dibaca dengan; (Jazaa’a nilhusnaa)
4. Surah An-Najm : ayat 50 dan dibaca dengan; (‘Aadan nil uulaa)
5. Surah Al-Jumu’ah : ayat 11 ( ) dan dibaca dengan; (Au lahwanin faddhuu)
6. Surah Al-Ikhlas : ayat 1 - 2 ( ) dan dibaca dengan; (Allahu ahadunillahus somad)
7. Surah al-A'raf : ayat 164 ( ) dan dibaca dengan; (Qaumanillahu muhlikuhum)
8. Surah al-A'raf : ayat 177 ( ) dan dibaca dengan; (matsalanil qaumul ladziina)
9. Surah at-taubah : ayat 24 ( ) di dibaca dengan; (wa amwaaluniqtaraftumuuha)
11. Surah Ibrahim : ayat 18 ( ) di baca dengan; (karamaadinisy taddat)
12. Surah Al-Hijr : ayat 61 ( ) dibaca dengan; (Falammaa jaa'a aala luthi nilmursalin )
13. Surah Al-Kahfi: ayat 100-101 ( )kalau wasal dibaca dengan ('aradha nilladzi...)
14. Surah Maryam: ayat 7 ( ) dibaca dengan (bughalaaminismuhu..)
15. Surah Maryam: ayat 61 ( ) dibaca dengan (jannaati 'adninillati..)
Cara membaca Nun Wiqoyah adalah sebagai berikut:
Pada ketukan ke-5 kita mengucapkan ‘wa’. Bunyi ‘n’ pada kata ‘lahwan’ bergeser ke posisi hamzah washol pada ketukan ke-6. Posisi Hamzah washol digantikan oleh Nun Wiqoyah.
Nun Wiqoyah selalu berbunyi ‘ni’. Nun Wiqoyah mendapatkan hak 1 ketukan. Ketukan ke-6 berbunyi ‘ninf’ karena menghadapi bacaan Ikhfa Hqiqi (huruf Nun Sukun yang bertemu huruf Fa).
Nun Wiqoyah selalu berbunyi ‘ni’. Nun Wiqoyah mendapatkan hak 1 ketukan. Ketukan ke-6 berbunyi ‘ninf’ karena menghadapi bacaan Ikhfa Hqiqi (huruf Nun Sukun yang bertemu huruf Fa).
Pada ketukan ke-3 kita mengucapkan ‘du’. Bunyi ‘n’ pada kata ‘adun' bergeser ke posisi hamzah washol pada ketukan ke-4. Posisi Hamzah washol digantikan oleh Nun Wiqoyah.
Nun Wiqoyah selalu berbunyi ‘ni’. Nun Wiqoyah mendapatkan hak 1 ketukan. Ketukan ke-4 berbunyi ‘nil’ karena menghadapi huruf Lam Sukun.
Nun Wiqoyah selalu berbunyi ‘ni’. Nun Wiqoyah mendapatkan hak 1 ketukan. Ketukan ke-4 berbunyi ‘nil’ karena menghadapi huruf Lam Sukun.
4. Ayat Sajadah
Ayat Sajadah adalah ayat-ayat tertentu dalam Al Qur'an yang bila dibaca disunnahkan bagi yang membaca dan mendengarnya untuk melakukan sujud tilawah.
Jadi Sujud Tilawah adalah sujud bacaan ketika mendengar ayat sajadah.
Sujud tilawah dilakukan satu kali, baik dalam shalat maupun luar shalat, barang siapa yang membaca atau mendengar ayat sajadah, disunatkan bertakbir lalu sujud dan membaca doa sujud tilawah.
Dari Ibnu Umar ra. Berkata : “Sesungguhnya Nabi Shalallahu 'Alayhi Wasallam pernah membaca Alqur’an di depan kami ketika beliau melalui (membaca) ayat sajadah beliau takbir, lalu sujud kamipun sujud pula bersama-sama beliau”. (HR. Turmudzi).
Hukum Sujud Tilawah
Sujud tilawah adalah sunat menurut pendapat jumhur ulama.
Hukum sunat ini bersandarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim) daripada Ibnu Umar katanya yang maksudnya :
"Bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wasallam telah membaca al-Qur’an, lalu Baginda membaca satu surah yang di dalamnya ada ayat ‘sajadah’, maka Baginda pun bersujud lalu kami pun sujud bersama-sama Baginda sehingga sebahagian daripada kami tidak mendapati tempat untuk meletakkan dahinya”.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu tentang fadhilah/faedah melakukan sujud tilawah, Baginda bersabda yang maksudnya :
“Apabila anak Adam itu membaca ayat al-Quran yang menuntut untuk sujud, syaitan akan mengasingkan dirinya lalu menangis dan berkata:” “Celakalah! Anak Adam telah diperintahkan untuk sujud ia pun sujud, maka baginya balasan syurga, dan aku diperintahkan untuk sujud maka aku enggan, maka balasan bagiku adalah neraka. (Hadis riwayat Ibnu Majah)
Untuk mengenali ayat-ayat sajadah di dalam mushhaf ditanda dengan garis dan di penghujung ayat itu ditanda dengan tanda yang berbentuk seakan-akan dom masjid sementara itu di bidainya tertulis perkataan sajadah.
Kapan Sunat Sujud Tilawah Dilakukan?
Sujud tilawah itu sunat dilakukan apabila ayat sajadah itu dibaca di luar sholat bukan pada waktu-waktu yang makruh menunaikan sholat. Begitu juga sunat melakukan sujud tilawah ketika dalam sholat jika dibacakan ayat sajadah tersebut.
Syarat-Syarat Sujud Tilawah
Di dalam kitab Al-Majmuk menurut Ashahab Syafi‘ieyah bahwa Hukum Sujud Tilawah itu sama seperti hukum sholat sunat dari segi syarat-syarat sahnya sujud itu, syarat-syarat itu adalah seperti berikut:
(i) Bersih daripada hadas kecil atau besar dan juga bersih daripada najis sama ada pada tubuh badan, pakaian dan juga tempat.
(ii) Orang yang hendak melakukan sujud tilawah itu juga di kehendaki dalam keadaan menutup aurat.
(iii) Untuk melakukannya hendaklah menghadap kiblat.
(iv) Hendaklah masuk waktunya ketika melakukan sujud itu. Adapun masuknya waktu sujud itu ialah begitu ia selesai mambaca atau mendengar keseluruhan ayat sajdah. Jika sekiranya ia bersujud sebelum lagi habis ayat itu di bacanya atau didengarnya maka sujud tilawah itu tidak sah dan tidak memadai.
Ayat-ayat ini terdapat pada 15 tempat dalam Al-Quran, yaitu;
1. Surah 7 (Al-A’Raaf) Ayat 206
2. Surah 13 (Ar-Ra’d) Ayat 15
3. Surah 16 (Al-Nahl) Ayat 50
4. Surah 17 (Al-Isra’) Ayat 109
5. Surah 19 (Maryam) Ayat 58
6. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 18
7. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 77
8. Surah 25 (Al-Furqaan) Ayat 60
9. Surah 27 (An Naml) Ayat 26
10. Surah 32 (As-Sajdah) Ayat 15
11. Surah 38 (Shaad) Ayat 24
12. Surah 41 (Fushshilat) Ayat 38
13. Surah 53 (An-Najm) Ayat 62
14. Surah 84 (Al-Insyiqaq) Ayat 21
15. Surah 96 (Al-’Alaq) Ayat 19
Bacaan sujud tilawah adalah:
“Subhaanallah Walhamdulillah Walaa Ilaaha Illallah Allahu Akbar” 3x.
Atau membaca
"Bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wasallam telah membaca al-Qur’an, lalu Baginda membaca satu surah yang di dalamnya ada ayat ‘sajadah’, maka Baginda pun bersujud lalu kami pun sujud bersama-sama Baginda sehingga sebahagian daripada kami tidak mendapati tempat untuk meletakkan dahinya”.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu tentang fadhilah/faedah melakukan sujud tilawah, Baginda bersabda yang maksudnya :
“Apabila anak Adam itu membaca ayat al-Quran yang menuntut untuk sujud, syaitan akan mengasingkan dirinya lalu menangis dan berkata:” “Celakalah! Anak Adam telah diperintahkan untuk sujud ia pun sujud, maka baginya balasan syurga, dan aku diperintahkan untuk sujud maka aku enggan, maka balasan bagiku adalah neraka. (Hadis riwayat Ibnu Majah)
Untuk mengenali ayat-ayat sajadah di dalam mushhaf ditanda dengan garis dan di penghujung ayat itu ditanda dengan tanda yang berbentuk seakan-akan dom masjid sementara itu di bidainya tertulis perkataan sajadah.
Kapan Sunat Sujud Tilawah Dilakukan?
Sujud tilawah itu sunat dilakukan apabila ayat sajadah itu dibaca di luar sholat bukan pada waktu-waktu yang makruh menunaikan sholat. Begitu juga sunat melakukan sujud tilawah ketika dalam sholat jika dibacakan ayat sajadah tersebut.
Syarat-Syarat Sujud Tilawah
Di dalam kitab Al-Majmuk menurut Ashahab Syafi‘ieyah bahwa Hukum Sujud Tilawah itu sama seperti hukum sholat sunat dari segi syarat-syarat sahnya sujud itu, syarat-syarat itu adalah seperti berikut:
(i) Bersih daripada hadas kecil atau besar dan juga bersih daripada najis sama ada pada tubuh badan, pakaian dan juga tempat.
(ii) Orang yang hendak melakukan sujud tilawah itu juga di kehendaki dalam keadaan menutup aurat.
(iii) Untuk melakukannya hendaklah menghadap kiblat.
(iv) Hendaklah masuk waktunya ketika melakukan sujud itu. Adapun masuknya waktu sujud itu ialah begitu ia selesai mambaca atau mendengar keseluruhan ayat sajdah. Jika sekiranya ia bersujud sebelum lagi habis ayat itu di bacanya atau didengarnya maka sujud tilawah itu tidak sah dan tidak memadai.
Ayat-ayat ini terdapat pada 15 tempat dalam Al-Quran, yaitu;
1. Surah 7 (Al-A’Raaf) Ayat 206
2. Surah 13 (Ar-Ra’d) Ayat 15
3. Surah 16 (Al-Nahl) Ayat 50
4. Surah 17 (Al-Isra’) Ayat 109
5. Surah 19 (Maryam) Ayat 58
6. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 18
7. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 77
8. Surah 25 (Al-Furqaan) Ayat 60
9. Surah 27 (An Naml) Ayat 26
10. Surah 32 (As-Sajdah) Ayat 15
11. Surah 38 (Shaad) Ayat 24
12. Surah 41 (Fushshilat) Ayat 38
13. Surah 53 (An-Najm) Ayat 62
14. Surah 84 (Al-Insyiqaq) Ayat 21
15. Surah 96 (Al-’Alaq) Ayat 19
Bacaan sujud tilawah adalah:
“Subhaanallah Walhamdulillah Walaa Ilaaha Illallah Allahu Akbar” 3x.
Atau membaca
5. Saktah
Saktah adalah berhenti sejenak tanpa bernafas, dengan tujuan untuk meluruskan arti ayat.
Di dalam mushaf rosmul utsmani, ‘saktah’ ditandai dengan huruf "Sin~س " kecil pada ayat yang mengandung ‘saktah’. Saktah dikenal dengan Saktatun lathifah~سَكْتَةٌ لَطِيْف yang berarti ”diam sejenak” , atau juga dikenal dengan Waqfatun Yasirah ~وَقْفَةٌ يَسِيْرَةٌ yang berarti “berhenti sedikit”.
Menurut Imam Hafs, bahwa saktah dalam Al-Qur’an terdapat pada empat tempat, yaitu :
-Surat Yasiin (36) ayat 52
-Surat Al-Muthoffifiin ayat 14
:
Pada contoh di atas ini, huruf ‘Sin~س " (sebagai tanda saktah) terletak antara kata berwarna merah dan kata berwarna biru. Di antara kedua kata itulah terjadi saktah.
6. Imalah = mencondongkan
Imalah yaitu bacaan yang condong atau miring dari harakat fathah ke harakat kasrah .
Menurut Imam Hafash, Imalah dalam Al-Qur’an terdapat pada satu tempat, yaitu dalam surat Huud [11] ayat 41 seperti : مَـجْـرَا هَـا dibaca hampir sama denganمَجْرَ يْـهَـا
https://www.youtube.com/watch?v=YZY7DWvOjmM
7. Isymam = memoncongkan dua bibir
Isymam yaitu memoncongkan mulut tanpa suara setelah mematikan huruf, seolah-olah memberi isyarat adanya dhommah, sehingga bunyinya hampir sama dengan bunyi “Maunnaa”[ مَوْ نَّـا ] .
Dalam Al-Qur’an ada satu tempat bacaan isymam, yaitu surat Yusuf [12] ayat 11 :
لاَ تَـأْ مَـنُـنَا<- span=""> ->Asalnya لاَ تَـأْ مَـوْ نَّا<- span="">-> dibaca لاَ تَـأْ مَـنَّا <-tulisan i="">-tulisan>
Cara Membaca Isyman:
Isymam adalah menampakkan dhommah yang terbuang dengan isyarat bibir ketika membaca kata ‘Laata'manna~لاَ تَـأْ مَـنَّا pada surat Yusuf (12) ayat 11. Isyarat bibir dimunculkan pada saat membaca Ghunnah. Isyarat bibir dimunculkan dengan cara memajukan bibir atau memonyongkan bibir ketika sedang membaca Ghunnah.
Pada ilustrasi di atas, bacaan Ghunnah terjadi pada ketukan ke-6 s.d. ketukan ke-9. Dalam rentang ketukan ke-6 s.d. ketukan ke-9 itulah isyarat bibir (isymam) dimunculkan.
Pada ketukan ke-5, kita membaca ‘man’. Pertahankan lidah pada posisi bunyi ‘n’ hingga ketukan ke-9. Bunyi ‘n’ dari ketukan ke-6 hingga ketukan ke-9 tidak boleh terputus. Bunyi ‘n’ akan menghilang bersamaan dengan munculnya bunyi ‘na’ pada ketukan ke-9.
Adapun isyarat bibir (isymam) dimunculkan pada ketukan ke-6. Ya, hanya satu ketukan saja. Majukan (monyongkan) bibir anda saat jatuh pada ketukan ke-6. Saat jatuh ketukan ke-7, isyarat bibir sudah hilang, dan tetap mempraktekkan bacaan ghunnah hingga ketukan ke-9.
https://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=Cb0cQkei0IM
6. Imalah = mencondongkan
Imalah yaitu bacaan yang condong atau miring dari harakat fathah ke harakat kasrah .
Menurut Imam Hafash, Imalah dalam Al-Qur’an terdapat pada satu tempat, yaitu dalam surat Huud [11] ayat 41 seperti : مَـجْـرَا هَـا dibaca hampir sama denganمَجْرَ يْـهَـا
https://www.youtube.com/watch?v=YZY7DWvOjmM
7. Isymam = memoncongkan dua bibir
Isymam yaitu memoncongkan mulut tanpa suara setelah mematikan huruf, seolah-olah memberi isyarat adanya dhommah, sehingga bunyinya hampir sama dengan bunyi “Maunnaa”[ مَوْ نَّـا ] .
Dalam Al-Qur’an ada satu tempat bacaan isymam, yaitu surat Yusuf [12] ayat 11 :
لاَ تَـأْ مَـنُـنَا<- span=""> ->Asalnya لاَ تَـأْ مَـوْ نَّا<- span="">-> dibaca لاَ تَـأْ مَـنَّا <-tulisan i="">-tulisan>
Cara Membaca Isyman:
Isymam adalah menampakkan dhommah yang terbuang dengan isyarat bibir ketika membaca kata ‘Laata'manna~لاَ تَـأْ مَـنَّا pada surat Yusuf (12) ayat 11. Isyarat bibir dimunculkan pada saat membaca Ghunnah. Isyarat bibir dimunculkan dengan cara memajukan bibir atau memonyongkan bibir ketika sedang membaca Ghunnah.
Pada ilustrasi di atas, bacaan Ghunnah terjadi pada ketukan ke-6 s.d. ketukan ke-9. Dalam rentang ketukan ke-6 s.d. ketukan ke-9 itulah isyarat bibir (isymam) dimunculkan.
Pada ketukan ke-5, kita membaca ‘man’. Pertahankan lidah pada posisi bunyi ‘n’ hingga ketukan ke-9. Bunyi ‘n’ dari ketukan ke-6 hingga ketukan ke-9 tidak boleh terputus. Bunyi ‘n’ akan menghilang bersamaan dengan munculnya bunyi ‘na’ pada ketukan ke-9.
Adapun isyarat bibir (isymam) dimunculkan pada ketukan ke-6. Ya, hanya satu ketukan saja. Majukan (monyongkan) bibir anda saat jatuh pada ketukan ke-6. Saat jatuh ketukan ke-7, isyarat bibir sudah hilang, dan tetap mempraktekkan bacaan ghunnah hingga ketukan ke-9.
http://www.youtube.com/watch?v=MRH6Tbl61wI
https://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=Cb0cQkei0IM
8. Tashil = mudah
Tashil menurut istilah, adalah suatu bacaan yang diringankan bunyi hamzah kepada bunyi antara hamzah dan alif. Hanya ada satu tempat bacaan tashil: Surah Fussilat: 44
Tashil menurut istilah, adalah suatu bacaan yang diringankan bunyi hamzah kepada bunyi antara hamzah dan alif. Hanya ada satu tempat bacaan tashil: Surah Fussilat: 44
Kata أَأَعْجَمِيٌّ yaitu ءَ (hamzah) yang pertama dalam ءَاعْجَمِيُّ dibaca jelas, sedangkan yang kedua dibaca samar, yaitu antara hamzah dan alif.
Kata tersebut namanya bacaan Tashil yaitu menyederhanakan hamzah kedua, perhatikan hamzah kedua yang berwarna merah, cara membacanya adalah ditengah-tengah antara huruf Hamzah danAlif, jadi lafadz yang keluar tidak seperti huruf Hamzah dan juga tidak seperti huruf Alif tetapi ditengah-tengah kedua huruf tersebut.
Kata tersebut namanya bacaan Tashil yaitu menyederhanakan hamzah kedua, perhatikan hamzah kedua yang berwarna merah, cara membacanya adalah ditengah-tengah antara huruf Hamzah danAlif, jadi lafadz yang keluar tidak seperti huruf Hamzah dan juga tidak seperti huruf Alif tetapi ditengah-tengah kedua huruf tersebut.
http://www.youtube.com/watch?v=Py-hOKBqp58
http://www.youtube.com/watch?v=p5YGs7bzLQo
http://www.youtube.com/watch?v=OKriBAoKhjE
9. Naql = memindahkan.
http://www.youtube.com/watch?v=p5YGs7bzLQo
http://www.youtube.com/watch?v=OKriBAoKhjE
9. Naql = memindahkan.
Adapun secara istilah, naql berarti memindahkan harakat hamzah ke huruf sukun sebelumnya, dan setelah itu, huruf hamzahnya dibuang.
Jadi, lafadz بئسَ اْلإسْمُ dibaca بئسَ ِلسْمُ
Bacaan ini juga hanya ada dalam surat al Hujurat ayat 11
بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
http://www.youtube.com/watch?v=1Eruk5HUqtM&feature=player_embedded
10. Waqaf (Tanda Berhenti) Dan Ibtida’ (Memulai Bacaan)
Pengetahuan tentang tanda waqaf (tanda-tanda berhenti dan tempatnya) dan ibtida’ (memulai bacaan) berperan penting di dalam tatacara membaca al-Qur’an, dalam rangka menjaga validitas makna ayat-ayat al-Qur’an, dan menghindari kesamaran serta agar tidak jatuh ke dalam kesalahan. Dan pengetahuan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang ilmu bahasa Arab (dengan berbagai macam cabangnya), ilmu Qir’at, dan ilmu Tafsir, sehingga tidak merusak makna ayat.
Dan makna ucapan kita:”Ini adalah waqaf” maksudnya adalah tempat (posisi) untuk berhenti padanya. Maksudnya bukan berarti bahwa setiap tempat dari tempat-tampat tersebut wajib untuk berhenti, akan tetapi maksudnya adalah bahwa tempat tersebut tepat atau boleh untuk berhenti, sekalipun nafas si pembaca al-Qur’an panjang. Dan seandainya salah seorang di antara kita mampu untuk membaca al-Qur’an dengan satu nafas maka hal itu diperbolehkan (selama bukan pada waqaf wajib berhenti).
Seorang pembaca al-Qur’an diibaratkan sebagai seorang musafir, dan titik-titik atau tempat di mana seorang pembaca berhenti diibaratkan sebagai tempat peristirahatan baginya.
Manusia berbeda-beda dalam hal waqaf. Di antara mereka ada yang menjadikan tempat waqaf sesuai dengan panjang nafasnya. Sebagian yang lain menjadikannya pada setiap penghujung ayat. Dan yang paling pertengahan adalah bahwa terkadang waqaf berada di tengah ayat, sekalipun yang lebih dominan adalah di akhir-akhir ayat. Dan tidak setiap akhir ayat ada waqaf (tempat untuk berhenti), akan tetapi yang dijadikan ukuran adalah makna dan nafas mengikutinya.
Dan seorang pembaca, apabila sampai pada tempat waqaf sedangkan nafasnya masih kuat untuk sampai pada tempat waqaf berikutnya maka boleh baginya untuk melewatinya (tidak berhenti) dan berhenti pada waqaf setelahnya. Namun jika nafasnya tidak sampai ke waqaf berikutnya maka hendaknya ia tidak melewati waqaf tersebut (hendaknya berhenti pada tempat waqaf pertama).
{لَّقَدْ سَمِعَ اللّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُواْ} (181)
Maka jika seseorang memulai bacaan dengan:
{إِنَّ اللّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاء}
Maka ia telah berbuat kesalahan dengan memulai bacaan pada kata tersebut.
Beberapa Contoh Waqaf;
Dan untuk masalah ini ada beberapa contoh:
… وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا {1}
قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ …{2}
Hal itu supaya tidak disalahpahami bahwa firman-Nya قَيِّمًا (Yang lurus) adalah sifat dari firman-Nya عِوَجًا (kebengkokan), karena sesuatu yang bengkok tidak akan lurus/selaras.
(Dan wajib waqaf) pada kalimat/ayat yang akhirnya huruf Ha’ sakat (Ha’ sakat adalah huruf Ha’ sukun yang ada di akhir kalimat/kata untuk menjelaskan harakat huruf terakhir dari kalimat yang bersambung dengan Ha’ sakat tersebut, dan hal itu menunjukkan akan pentingnya kalimat tersebut. walahu A’lam), seperti dalam firman-Nya:
… يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ {25} وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ {26}
Dan dalam firman-Nya:
مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ {28} هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ {29}
Maka pada selain al-Qur’an, anda harus menetapkan (menuliskan/membaca) huruf Ha’ ini ketika waqaf (berhenti) dan menghapusnya/menghilangkannya jika diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti). Dan ia (Ha’ sakat) tertulis di dalam al-Qur’an dengan huruf Ha’. Karena di dalam kaidah bahasa Arab diharuskan menghilangkan/menghapus Ha’ sakat apabila diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti). Maka penetapan keberadaannya (penulisannya) ketika diwashal-kan bertentangan dengan kaidah bahasa Arab, sedangkan penghapusannya bertentangan dengan tulisan yang ada pada mushaf. Maka dengan mem-waqaf-kan (berhenti pada huruf Ha’ sakat tersebut) berarti seseorang telah mengikuti tulisan di mushaf al-Qur’an dan sekaligus mengikuti kaidah bahasa Arab. Dan bacaan washal dengan Ha’ hanya diperbolekan dengan meniatkan waqaf (berhenti).
Dan juga wajib waqaf, misalnya pada firman-Nya:
وَلاَيَحْزُنكَ قَوْلُهُمْ … {65}
Kemudian dimulai lagi dengan membaca:
…إِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا … {65}
Hal itu supaya maknanya benar (lurus), karena jika diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti) akan memberikan kesan bahwa perkataan mereka yang membuat sedih (hati Nabi) adalah perkataan mereka:
Padahal maksud ayat yang sebenarnya tidak demikian.
Dan dianjurkan (disunahkan) bagi seorang pembaca al-Qur’an untuk belajar posisi-posisi waqaf (tanda-tanda waqaf), dan agar berhenti pada setiap akhir ayat kecuali jika ayat tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan ayat setelahnya, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِّنَ السَّمَآءِ لَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ {14}
Maka tidak boleh waqaf (berhenti) di akhir ayat di atas dikarenakan huruf Lam pada ayat setelahnya berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (ayat di atas).
…. وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ {39}
Demikian juga tidak boleh waqaf (berhenti) di akhir ayat di atas dikarenakan huruf إلاَّ pada ayat setelahnya berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (ayat di atas).
(Sumber: مباحث في علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththan, Maktabah al-Ma’arif Riyadh hal 187-188 dan artikel berjudul الوقف و الابتداء di http://www.halqat.com/Article-194.html. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)
Ayat-Ayat Ghoribah Oleh ustadz Abu Rabbani
10. Waqaf (Tanda Berhenti) Dan Ibtida’ (Memulai Bacaan)
Pengetahuan tentang tanda waqaf (tanda-tanda berhenti dan tempatnya) dan ibtida’ (memulai bacaan) berperan penting di dalam tatacara membaca al-Qur’an, dalam rangka menjaga validitas makna ayat-ayat al-Qur’an, dan menghindari kesamaran serta agar tidak jatuh ke dalam kesalahan. Dan pengetahuan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang ilmu bahasa Arab (dengan berbagai macam cabangnya), ilmu Qir’at, dan ilmu Tafsir, sehingga tidak merusak makna ayat.
Makna Waqaf;
Kata al-Waqaf biasa dipakai untuk dua makna, makna yang pertama adalah titik atau tanda di mana seseorang yang membaca al-Qur’an diam (menghentikan bacaannya) pada tanda tersebut. Makna yang kedua adalah tempat-tempat (posisi) yang ditunjukkan oleh para imam ahli Qir’at. Dengan demikian setiap tempat (posisi) dari tempat-tempat tersebut dinamakan waqaf, sekalipun seorang pembaca al-Qur’an tidak berhenti di tempat (posisi) tersebut.
Dan makna ucapan kita:”Ini adalah waqaf” maksudnya adalah tempat (posisi) untuk berhenti padanya. Maksudnya bukan berarti bahwa setiap tempat dari tempat-tampat tersebut wajib untuk berhenti, akan tetapi maksudnya adalah bahwa tempat tersebut tepat atau boleh untuk berhenti, sekalipun nafas si pembaca al-Qur’an panjang. Dan seandainya salah seorang di antara kita mampu untuk membaca al-Qur’an dengan satu nafas maka hal itu diperbolehkan (selama bukan pada waqaf wajib berhenti).
Seorang pembaca al-Qur’an diibaratkan sebagai seorang musafir, dan titik-titik atau tempat di mana seorang pembaca berhenti diibaratkan sebagai tempat peristirahatan baginya.
Manusia berbeda-beda dalam hal waqaf. Di antara mereka ada yang menjadikan tempat waqaf sesuai dengan panjang nafasnya. Sebagian yang lain menjadikannya pada setiap penghujung ayat. Dan yang paling pertengahan adalah bahwa terkadang waqaf berada di tengah ayat, sekalipun yang lebih dominan adalah di akhir-akhir ayat. Dan tidak setiap akhir ayat ada waqaf (tempat untuk berhenti), akan tetapi yang dijadikan ukuran adalah makna dan nafas mengikutinya.
Dan seorang pembaca, apabila sampai pada tempat waqaf sedangkan nafasnya masih kuat untuk sampai pada tempat waqaf berikutnya maka boleh baginya untuk melewatinya (tidak berhenti) dan berhenti pada waqaf setelahnya. Namun jika nafasnya tidak sampai ke waqaf berikutnya maka hendaknya ia tidak melewati waqaf tersebut (hendaknya berhenti pada tempat waqaf pertama).
Seperti seorang musafir, jika menemukan tempat persinggahan yang subur, teduh, banyak makanan dan dia tahu bahwa jika ia melewatinya (tidak singgah di sana) ia tidak akan sampai pada persinggahan berikutnya, dan ia perlu untuk singgah di tempat yang tandus, yang tidak ada apa-apanya (tidak teduh, tidak ada makanan dll), maka yang lebih baik bagi orang itu adalah ia tidak melewati persinggahan yang subur tersebut.
Maka jika seorang pembaca al-Qur’an tidak mampu meneruskan bacaan disebabkan pendeknya nafas, atau ketika waqaf pada tempat yang dimakruhkan untuk waqaf maka hendaknya dia memulainya dari awal kalimat (ayat) supaya maknanya bersambung antara satu dengan yang lain, dan supaya mulainya bacaan setelahnya tidak mengakibatkan kerancuan (makna yang kurang tepat). Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{لَّقَدْ سَمِعَ اللّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُواْ} (181)
”Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan:”….”
(QS. Ali ‘Imraan: 181)
(QS. Ali ‘Imraan: 181)
Maka jika seseorang memulai bacaan dengan:
{إِنَّ اللّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاء}
”Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya….” (QS. Ali ‘Imraan: 181)
Maka ia telah berbuat kesalahan dengan memulai bacaan pada kata tersebut.
Beberapa Contoh Waqaf;
Dan untuk masalah ini ada beberapa contoh:
Wajib berhenti, misalnya pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
… وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا {1}
”….Dan dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1)
Kemudian memulai lagi dengan:
Kemudian memulai lagi dengan:
قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ …{2}
” Yang lurus (tidak kontradiksi), untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi-Nya ( Allah).. .” (QS. Al-Kahfi: 2)
Hal itu supaya tidak disalahpahami bahwa firman-Nya قَيِّمًا (Yang lurus) adalah sifat dari firman-Nya عِوَجًا (kebengkokan), karena sesuatu yang bengkok tidak akan lurus/selaras.
(Dan wajib waqaf) pada kalimat/ayat yang akhirnya huruf Ha’ sakat (Ha’ sakat adalah huruf Ha’ sukun yang ada di akhir kalimat/kata untuk menjelaskan harakat huruf terakhir dari kalimat yang bersambung dengan Ha’ sakat tersebut, dan hal itu menunjukkan akan pentingnya kalimat tersebut. walahu A’lam), seperti dalam firman-Nya:
… يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ {25} وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ {26}
”…Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku.” (QS. Al-Haaqqah: 25-26)
Dan dalam firman-Nya:
مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ {28} هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ {29}
” Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.”
(QS. Al-Haaqqah: 28-29)
(QS. Al-Haaqqah: 28-29)
Maka pada selain al-Qur’an, anda harus menetapkan (menuliskan/membaca) huruf Ha’ ini ketika waqaf (berhenti) dan menghapusnya/menghilangkannya jika diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti). Dan ia (Ha’ sakat) tertulis di dalam al-Qur’an dengan huruf Ha’. Karena di dalam kaidah bahasa Arab diharuskan menghilangkan/menghapus Ha’ sakat apabila diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti). Maka penetapan keberadaannya (penulisannya) ketika diwashal-kan bertentangan dengan kaidah bahasa Arab, sedangkan penghapusannya bertentangan dengan tulisan yang ada pada mushaf. Maka dengan mem-waqaf-kan (berhenti pada huruf Ha’ sakat tersebut) berarti seseorang telah mengikuti tulisan di mushaf al-Qur’an dan sekaligus mengikuti kaidah bahasa Arab. Dan bacaan washal dengan Ha’ hanya diperbolekan dengan meniatkan waqaf (berhenti).
Dan juga wajib waqaf, misalnya pada firman-Nya:
وَلاَيَحْزُنكَ قَوْلُهُمْ … {65}
” Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. …” (QS. Yunus: 65)
Kemudian dimulai lagi dengan membaca:
…إِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا … {65}
” … Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. ….” (QS. Yunus: 65)
Hal itu supaya maknanya benar (lurus), karena jika diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti) akan memberikan kesan bahwa perkataan mereka yang membuat sedih (hati Nabi) adalah perkataan mereka:
… إِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا … {65}
” … Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. ….” (QS. Yunus: 65)
Padahal maksud ayat yang sebenarnya tidak demikian.
Dan dianjurkan (disunahkan) bagi seorang pembaca al-Qur’an untuk belajar posisi-posisi waqaf (tanda-tanda waqaf), dan agar berhenti pada setiap akhir ayat kecuali jika ayat tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan ayat setelahnya, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِّنَ السَّمَآءِ لَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ {14}
” Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya.” (QS. Al-Hijr: 14)
Maka tidak boleh waqaf (berhenti) di akhir ayat di atas dikarenakan huruf Lam pada ayat setelahnya berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (ayat di atas).
…. وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ {39}
” …dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr: 39)
Demikian juga tidak boleh waqaf (berhenti) di akhir ayat di atas dikarenakan huruf إلاَّ pada ayat setelahnya berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (ayat di atas).
Dan tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan tentang Waqaf dan Ibtida’ berguna dalam memahami makna-makna al-Qur’an dan mentadabburi (mengkaji) hukum-hukumnya.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
”Kami telah hidup pada sepenggal waktu kami, dan bahwasanya salah seorang di antara kami diberikan iman sebelum al-Qur’an. Dan kami telah menyaksikan pada hari ini orang-orang, yang salah seorang di antara mereka diberikan al-Qur’an sebelum iman. Sehingga ia membaca al-Qur’an dari awal sampai akhir namun ia tidak mengetahui mana perintah dan mana larangan, dan juga tidak tahu kapan seharusnya dia waqaf (berhenti). Padahal setiap huruf dalam al-Qur’an menyerukan:’Aku adalah utusan Allah kepadamu agar engkau mengamalkanku, dan agar engkau mengambil pelajaran dari nasehatku.’”
sumber: http://www.alsofwa.com/18616/waqaf-tanda-berhenti-dan-ibtida-memulai-bacaan-2.html
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
”Kami telah hidup pada sepenggal waktu kami, dan bahwasanya salah seorang di antara kami diberikan iman sebelum al-Qur’an. Dan kami telah menyaksikan pada hari ini orang-orang, yang salah seorang di antara mereka diberikan al-Qur’an sebelum iman. Sehingga ia membaca al-Qur’an dari awal sampai akhir namun ia tidak mengetahui mana perintah dan mana larangan, dan juga tidak tahu kapan seharusnya dia waqaf (berhenti). Padahal setiap huruf dalam al-Qur’an menyerukan:’Aku adalah utusan Allah kepadamu agar engkau mengamalkanku, dan agar engkau mengambil pelajaran dari nasehatku.’”
sumber: http://www.alsofwa.com/18616/waqaf-tanda-berhenti-dan-ibtida-memulai-bacaan-2.html
(Sumber: مباحث في علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththan, Maktabah al-Ma’arif Riyadh hal 187-188 dan artikel berjudul الوقف و الابتداء di http://www.halqat.com/Article-194.html. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)
Ayat-Ayat Ghoribah Oleh ustadz Abu Rabbani
Sumber:
-Panduan Tahsin Tilawah Al-Quran dan Ilmu Tajwid, H, Ahmad Annuri, MA
- http://maramissetiawan.wordpress.com/2012/07/16/ayat-ayat-gharibah-1-imalah-dan-idghom-dalam-qs-hud-41-dan-42/
-http://bowie91.blogspot.com/2011/01/teknik-bacaan-nun-iwad.html
-Panduan Tahsin Tilawah Al-Quran dan Ilmu Tajwid, H, Ahmad Annuri, MA
- http://maramissetiawan.wordpress.com/2012/07/16/ayat-ayat-gharibah-1-imalah-dan-idghom-dalam-qs-hud-41-dan-42/
-http://bowie91.blogspot.com/2011/01/teknik-bacaan-nun-iwad.html
No comments:
Post a Comment