Wednesday, November 25, 2009

Puasa Arafah Didasarkan Wukuf atau Hari Arafah?

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada hari Arafah. Apakah hari Arafah didasarkan atas penetapan pemerintah Saudi Arabia, terkait dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, ataukah berdasarkan ketetapan pemerintah setempat?

Kesunnahan puasa Arafah bukan didasarkan adanya wukuf, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia berbeda dengan di Saudi Arabia. Toleransi terhadap adanya perbedaan ini didasarkan atas hadits Sahabat Kuraib berikut ini:


عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ اَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ كُرَيْبٍ: اَنَّ اُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ اِلَى مُعَاوِيَةَ باِلشَّامِ قاَلَ كُرَيْبٌ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَاَنَا باِلشَّامِ فَرَاَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِيْ اَخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ فَقُلْتُ: رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ: اَنْتَ رَاَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوْا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ: لَكِنَّا رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ الثَّلاَثِيْنَ اَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ: اَوَ لاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَ صِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ هَكَذَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

“Dari Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib, bahwa Ummul Fadl binti al-Harits mengutus Kuraib menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata: Aku tiba di Syam. Lalu aku tunaikan keperluan Ummul fadl. Dan terlihatlah hilal bulan Ramadlan olehku, sedang aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan Ramadlan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, dan ia menyebut hilal. Ia berkata: “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Malam Jum’at.” Dia bertanya: “Apakah kamu sendiri melihatnya?” Aku menjawab: “Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa, demikian juga Mu’awiyah.” Dia berkata: “Tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa sehingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal”. Aku bertanya: “Apakah kamu tidak cukup mengikuti rukyah Mu’awiyah dan puasanya?” Lalu dia menjawab: “Tidak, demikianlah Rasulullah SAW menyuruh kami,” (HR. Muslim)

Berdasarkan dalil di atas maka rukyatul hilal atau observasi bulan sabit untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku rukyat nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum.

Di Indonesia, hasil penyelenggaraan rukyatul hilal, termasuk rukyat yang diadakan oleh Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) dilaporkan terlebih dahulu ke sidang itsbat (penetapan) yang dilakukan Departemen Agama RI, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.

Ketika para sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW. Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya.

Itsbat adalah suatu terminologi fiqh untuk suatu penetapan negara tentang awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah. Di Indonesia wewenang itsbat didelegasikan kepada Menteri Agama RI. Menurut fiqh, itsbat harus didasarkan dalil rajih, yakni rukyatul hilal. Dalam mengambil itsbat, Menteri Agama RI menyelenggarakan sidang itsbat pada hari telah diselenggarakan rukyatul hilal, dan dihadiri anggota Badan Hisab Rukyat (BHR), wakil-wakil Ormas Islam, pejabat-pejabat terkait, dan para duta dari negara-negara sahabat.

Menteri Agama RI dalam itsbatnya didasarkan atas dasar rukyatul hilal dan hisab. Itsbat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI berlaku bagi seluruh ummat Islam di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa terkecuali. Perbedaan yang mungkin terjadi harus sudah selesai ketika itsbat dikeluarkan, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan para sahabat. Setelah itsbat dilakukan baru diadakan ikhbar atau pengumuman awal bulan.

Dengan demikian penentuan awal bulan Qamariyah harus berdasarkan 4 aspek:

1. Aspek Syar’i, dalam bentuk pelaksanaan rukyatul hilal
2. Aspek Astronomis, dalam bentuk memperhatikan kriteria-kriteria imkanur rukyat tentang dzuhurul hilal (penampakan bulan sabit)
3. Aspek Geografis, dalam bentuk menerima rukyat nasional
4. Aspek Politis, yakni aspek intervensi negara dalam bentuk itsbat dalam kerangka wawasan NKRI dan mengatasi perbedaan

Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah, karena adanya perbedaan wilayah hukum (wilayatul hukmi), termasuk perbedaan dalam menentukan hari Arafah yang sedang kita bahas kali ini.

Adapun tentang keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:

صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً

“Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)


KH A Ghazalie Masroeri
Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)

Thursday, November 19, 2009

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".

Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid".

MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN

[1]. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah

Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga".

[2]. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :

"Artinya : Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku".

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaq 'Alaih].

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".

[3]. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : .... dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ...". [Al-Hajj : 28].

Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.

"Artinya : Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid". [Hadits Riwayat Ahmad].

Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu"

"Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah".

Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu ...". [Al-Baqarah : 185].

Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.

Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan.

[4]. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.

Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya" [Hadits Muttafaq 'Alaihi].

[5]. Banyak Beramal Shalih.

Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.

[6]. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq

Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah ; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.

[7]. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-hari Tasyriq.

Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu". [Muttafaq 'Alaihi].

[8]. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.

Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'Anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".

Dalam riwayat lain :

"Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".

Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.

"Artinya : ..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [Al-Baqarah : 196].

Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

[9]. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.

Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.

[10]. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.

Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.

Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

[Artikel bahasa Arab dapat dilihat di http://www.saaid.net/mktarat/hajj/4.htm Disalin dari brosur yang dibagiakn secara cuma-cuma, tanpa no, bulan dan tahun]

Tuesday, November 3, 2009

Apakah uang bisa membahagiakan kehidupan kita ?



Apakah uang bisa membahagiakan kehidupan kita ?
Mungkin terbayang betapa bahagianya kita jika apa-apa yang kita impi-impikan dan cita-citakan semuanya telah berhasil kita gapai. Kita akan merasa bahagia bilamana membayangkan mempunyai pekerjaan tetap atau PNS karena sekarang sedang nganggur atau habis kena PHK, atau akan bahagia jikalau mempunyai Mercedes model terbaru karena mobil yang dipunyai sekarang adalah mobil butut yang sering mogok. Impian-impian atau harapan tersebut dapat diwujudkan seandainya kita punya uang. Dengan uang kita dapat memenuhi hampir segala kebutuhan dan keinginan kita.

Sebagian kita menganggap bahwa ada korelasi kuat antara uang dan bahagia. Jika anggapan diatas adalah salah, mungkin orang-orang akan malas bekerja keras, datang kantor lambat, melayani pelanggan apa adanya, ngapain sih kerja keras kalau tidak memperoleh kebahagiaan dari kerja tersebut, atau orang akan malas menabung kalau tidak ada manfaatnya.

Apa sih kebahagian itu ?
Kebahagiaan adalah pengalaman hidup yang ditandai dengan emosi positif yang kuat. Untuk memudahkan analogi kita tentang rasa bahagia, jika di skor skala antara 0 – 10 ( skor 5 adalah netral), yang namanya bahagia itu minimal skornya mendekati skor 7 atau lebih. Akan tetapi rasa bahagia ini adalah bersifat subyektif untuk kondisi yang sama belum tentu individu yang berbeda bisa mencapai kebahagiaan yang sama (subjective well-being – SWB). Emosi positif ini bisa dalam wujud yang beraneka ragam, misalnya : rasa sosial yang tinggi, rasa tolong menolong, rasa aman dan derajat kesehatan yang tinggi. Dari survey global (1999 – 2001) yang dilakukan oleh Ronald Inglehart dari 82 negara, diperoleh kesimpulan bahwa negara-negara yang tingkat kebahagian warga negaranya tinggi adalah Puerto Rico, Mexico, Denmark, Irlandia, Eslandia, and Swiss dan yang negara yang tingkat kebahagiaannya terendah salah satunya adalah Indonesia..(upss..Indonesia lagi)..semoga salah penelitian ini.

Benarkah dengan uang yang melimpah dapat mendatangkan kebahagiaan hidup ?
Kita bisa mengambil contoh di Uni Emirat Arab, dimana negara ini adalah termasuk negara teluk dengan penghasilan perkapita yang tergolong paling tinggi, siapakah yang berani mengambil kesimpulan bahwa mereka hidup lebih bahagia dari penduduk Negara tetangga yang lebih miskin atau ok..deh bandingkan dengan Indonesia ?
Dulu penduduk emirat sudah cukup berbahagia jika mereka udah kenyang perutnya dengan hanya makan kurma, sedikit gandum dan sedikit ikan sebelum adanya eksplorasi minyak. Sekarang penghasilan mereka naik mungkin 1000% tapi apakah kebahagiaan juga naik 10% atau 15% ? mungkin mereka sekarang lebih bahagia 2-3 kali lipat dibandingkan dengan jaman dulu? Tapi kayaknya nggak demikian karena kebahagiaan tidak bisa dimatematikakan. Pendapatan mungkin 500% meningkat tapi kebahagian tidaklah jauh berbeda dengan rasa bahagia orang-orang terdahulu.

Kok bisa gitu sih ?? masa sich ? jadi kelihatan paradoksal ya? Mungkin ini beberapa argumentasi kenapa kondisi paradoksal itu terjadi.

Sifat manusia yang selalu tidak pernah puas.Kita beranggapan jikalau kita mempunyai uang kita akan bahagia. Ternyata salah, semakin kita mempunyai uang lebih banyak, pilihan keinginan kita menjadi bertambah, sehingga kita tetap saja kekurangan uang.
Sekali kita mendapatkan kenikmatan, maka kenikmatan-kenikmatan berikutnya akan semakin menurun tingkat kepuasannya. Ketika mendapatkan uang lebih banyak, hal ini akan membahagiakan dalam jangka pendek, dan dengan cepat pula seseorang akan beradaptasi dengan kemampuan ekonomi yang baru sehingga kenikmatannya menjadi berkurang. Para ekonom menamakan kondisi ini dengan “hedonic treadmill.” Kita seolah-olah berlari kedepan akan tetapi kenyataannya kita tetap berlari ditempat.

Lebih banyak uang mendatangkan stres
Lebih banyak uang akan membuat kita lebih sibuk untuk menjaganya. Kalau-kalau ada orang yang berniat tidak baik terhadap kita. Perasaan yang muncul kemudian adalah perasaan was-was, tidak tenang serta stres.

Iri Hati, Selalu membandingkan dengan orang lain yang lebih makmur
Rumput tetangga akan lebih hijau dari rumput di rumah sendiri apalagi nggak ada rumput sama sekali. Perasaan membandingkan dengan orang yang lebih beruntung. Selalu muncul perasaan iri dengan keberhasilan orang lain, rasa bahagia berkurang bilamana ada tetangga yang lebih sukses darinya, pokoknya iri dech… (kasian dech yang suka ngiri)

Uang dan Teori Kebutuhan A. Maslow
Bagi teman-teman perawat mungkin masih ingat dengan teorinya ‘Hirarki Kebutuhan’ (A Maslow). Bahwa pada dasarnya kebutuhan itu ada lima tingkatan

Kebutuhan Fisiologis
Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.

Kebutuhan Sosial
Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.

Kebutuhan Penghargaan
Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.

Kebutuhan Aktualisasi DiriAdalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.

Ternyata dari lima tingkat kebutuhan menurut A Maslow, kebutuhan yang paling dapat dipenuhi dengan uang adalah kebutuhan fisiologis saja, selebihnya peranan uang dalam memenuhi kebutuhan lainnya adalah tidak ada. Kita tidak bisa kita bebas dari rasa sakit kalau kita kaya raya atau kita tidak bisa membeli pertemanan semata-mata dengan uang. Nah bagaimana semangat kita dalam hal etos kerja produktif agar mendapatkan uang yang banyak ? Sebenarnya tidaklah salah dengan etos tersebut. Kredo rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya adalah salah satu hukum alam yang harus kita pelihara, karena kalau kita akan mencapai kualitas hidup yang bagus haruslah melalui proses tersebut. Sekarang yang perlu kita benahi adalah orientasi hidup kita, ternyata uang bukanlah segala-galanya untuk mencapai kebahagiaan. Uang memang penting tapi bukanlah yang utama sebagai modal mengisi hidup manusia. Masih banyak faktor lain yang mempunyai peranan besar dalam membantu manusia untuk mencapai kebahagiaan. Nah tujuan hidup kita yang harus kita tentukan karena itu akan menentukan kualitas pribadi kita.

Menurut Pakar, ada 4 kualitas manusia dalam kaitannya antara tujuan dan kepuasan/kebahagiaan hidup yang ingin dicapai seseorang.

Manusia ekonomi
Manusia pada level ini adalah manusia yang masih berambisi mengerjakan sesuatu karena berharap adanya imbalan baik intrinsik dan ekstrinsik. Bilamana imbalan tersebut diperoleh ia akan merasa puas, dan demikian pula sebaliknya.

Manusia Sosial
Manusia ini lebih tinggi jenjangnya daripada manusia ekonomi. Mereka akan merasa puas, bilamana adanya imbalan berupa sanjungan, rasa hormat dari lingkungan sosialnya, dan juga sebaliknya merasa kecewa bilamana harapannya dari lingkungannya tidak terpenuhi.

Manusia psikologis
Manusia ini adalah lebih tinggi dari level-level sebelumnya, karena kepuasan yang dia inginkan merupakan bentuk dari aktualisasi dirinya. Mereka akan merasa puas bilamana adanya tantangan dan mereka berhasil mengatasinya.

Manusia Religius : kebahagiaan : bahagia bila manusia lain bahagia
Manusia religius adalah jenjang tertinggi dari jenjang manusia sebelumnya. Mereka sudah terlepas dari ikatan-ikatan emosional dalam bentuk ekonomi, sanjungan, rasa hormat serta bentuk2 aktualisasi diri. Kalau jenjang manusia sebelumnya mereka mencari kepuasan diri, manusia religius berusaha menggapai kebahagiaan hidup, dengan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia/makhluk lainnya. Jadi manusia religius akan merasa bahagia bilamana dia bisa membahagiakan manusia lainnya. Kemudian perbedaan lainnya antara kepuasan diri dan kebahagiaan adalah kalau kepuasan diri lebih bersifat short term dan akan cepat hilang bersamaan dengan berlalunya waktu, sedangkan kebahagiaan lebih bersifat long term. Sepanjang sesuatu yang diberikan masih bermanfaat maka rasa bahagia ini masih hadir.

Pada titik ini mungkin kita harus meredefinisi kembali arah tujuan dari perjalanan hidup kita. Uang bukanlah segala-galanya dalam memenuhi kebahagiaan kita, karena banyak faktor lain yang ikut peran dalam memberikan kebahagiaan. Jadi Tuhan memang adil, kebahagiaan tidak semata-mata menjadi milik orang kaya, orang lain pun bisa bahagia karena kalau bersyukur atas segala karunia dan nikmat yang diberikan oleh Nya. Mari kita renungkan kembali pepatah :

Money may be the husk of many things, but not the kernel.
It brings you food, but not appetite;
Medicine, but not health;
Acquaintances, but not friends;
Servants, but not faithfulness;
Days of pleasure, but not peace or happiness.


Dikutip dan diedit seperlunya dari Web Pengelola Keuangan.

Saturday, October 3, 2009

Muhasabah Pasca Gempa

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, keluarga, para shahabat dan pengikut setia mereka sampai hari kiamat. Amma ba’du.

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan terjadinya musibah di berbagai negeri belahan dunia termasuk di negeri kita Indonesia. Mulai dari tsunami, banjir, tanah longsor, gempa, dll. Sebagai muslim kita tentu merasa prihatin atas semua ini dan berusaha untuk membantu mereka semampu kita.


Semua kejadian ini bukanlah sekedar bencana alam biasa tanpa makna dan arti karena tidak mungkin Allah –subhanahu wa ta’ala menciptakan sesuatu yang sia-sia. Musibah-musibah ini menjadikan kita introspeksi bahwa kita adalah lemah dalam kekuasaan Allah–subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (Qs. An-Nisaa’: 28).

UJIAN ADALAH SUNNATULLAH

Setiap makhluk hidup pasti akan mendapatkan ujian dan cobaan berupa kesenangan dan kesusahan, kebaikan dan keburukan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kami akan menguji kamu sekalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu sekalian dikembalikan.” (Qs. 21 Al-Anbiyaa’: 35)

Allah –subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Qs. 7 Al-A’raaf: 168).

Yang dimaksud ujian yang baik-baik adalah: Ketaatan, hidayah, kesehatan, kedamaian, kekayaan, rumah tangga yang harmonis, keamanan dan segala yang menyenangkan kita.

Adapun ujian yang buruk-buruk adalah: Kemaksiatan, kesesatan, sakit, menderita, kesusahan, kemelaratan, rumah tangga yang tidak harmonis, ketakutan dan segala yang tidak menyenangkan kita.

Umar bin Al-Khaththab –radhiallahu anhu berkata: “Semua yang tidak menyenangkanmu adalah musibah.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dll, sahih)

Tujuan utama dari semua ujian dan cobaan ini adalah agar supaya kita kembali kepada Allah –subhanahu wa ta’ala dengan selalu berbuat taat, bertaubat dari semua maksiat dan tidak melakukannya lagi.

MENGAPA TERJADI GEMPA?

Ibnul Qayyim –rahimahullah dalam kitabnya Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’ menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini (hlm 72-74): Ibnu Abi Ad-Dunya –rahimahullah meriwayatkan dari Anas bin Malik –radhiallahu anhu, bahwasanya beliau dan seorang lagi masuk menemui ibunda ‘Aisyah –radhiallahu anha, lalu orang tersebut berkata: “Wahai Ummul Mukminin! Beritahukanlah kepada kami tentang gempa.” Ibunda ‘Aisyah –radhiallahu anha menjawab: “Apabila mereka telah memperbolehkan perzinahan, meminum khamer, memainkan alat musik, maka Allah –subhanahu wa ta’ala marah di langit-Nya dan berfirman kepada bumi: 'Bergoncanglah atas mereka!' Jika mereka bertaubat dan meninggalkan perbuatan tersebut (berhentilah), jika tidak, maka hancurkanlah mereka!” Orang tersebut berkata: “Wahai Ummul Mukminin! Apakah itu adzab atas mereka?” Beliau menjawab: “Itu adalah peringatan dan rahmat bagi orang-orang beriman, dan hukuman, adzab serta murka atas orang-orang kafir.”
Berkata Anas –radhiallahu anhu: “Aku tidak pernah mendengar hadis sepeninggal Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang lebih menyenangkanku daripada hadis ini.”

Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah meriwayatkan dari Shafiyyah –radhiallahu anha, beliau berkata: “Bumi bergoncang di Madinah pada masa Umar –radhiallahu anhu, lalu beliau berkata: 'Wahai manusia! Ada apa ini? Alangkah cepat penyimpanganmu! Kalau sekiranya bumi telah kembali seperti semula aku tidak akan tinggal bersamamu di sana.'"

Berkata Ka’ab –rahimahullah: “Sesungguhnya terjadinya gempa bumi adalah apabila dilakukan kemaksiatan di atasnya, lalu bumipun bergetar takut apabila Allah-subhanahu wa ta’ala mengetahuinya.” (Riwayat-riwayat diatas tidak diberi komentar oleh pentahqiq kitab tersebut Syaikh Ali Hasan)

BAHAYA PERBUATAN DOSA DAN MAKSIAT

Perbuatan dosa dan maksiat adalah sangat berbahaya, bahayanya bagi hati adalah ibarat bahaya racun terhadap tubuh. Semua kerusakan, bencana dan penyakit yang terjadi di dunia dan akhirat adalah disebabkan oleh dosa dan maksiat. Perbuatan dosa dan maksiat mendatangkan bencana, merubah karunia, menurunkan bala’ dan menghalangi doa.

Apa yang menyebabkan iblis dikeluarkan dari surga, diusir dan dilaknat? Apa yang menyebabkan penduduk bumi di tengelamkan pada masa Nabi Nuh –alaihis salam? Apa yang menyebabkan kaum ‘Ad dihancurkan oleh angin? Apa yang menyebabkan dibinasakannya kaum Luth –alaihis salam? Apa yang menyebabkan tenggelamnya Fir’aun dan kaumnya? Apa yang menjadikan Qorun dibenamkan ke dalam bumi beserta semua harta dan keluarganya? Dst.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (Qs. An-Nahl: 112)

Allah –subhanahu wa ta’ala berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q. Ar-Ruum: 41)

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiallahu anha, beliau berkata, aku telah mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda: “Apabila terjadi kemaksiatan pada umatku, pasti Allah –subhanahu wa ta’ala mengirimkan adzab dari sisiNya kepada mereka semua.”
Ummu Salamah –radhiallahu anha bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah tidak ada orang baik pada mereka saat itu?”
Beliau –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menjawab: “Ya, ada.”
Ummu Salamah –radhiallahu anha bertanya lagi: “Bagaimana dengan mereka?”
Beliau menjawab: “Mereka terkena sebagaimana manusia lain, kemudian mereka mendapat ampunan dan keridhaan Allah –subhanahu wa ta’ala.”

MUHASABAH

Marilah kita semua melakukan muhasabah atau introspeksi atas semua perbuatan yang kita lakukan, apakah perbuatan tersebut telah benar ataukah belum? Apakah kita telah meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan ataukah masih terus menerus melakukannya?

Ada empat tingkatan dosa yang harus kita hindari:

(1) Syirik atau menyekutukan Allah –subhanahu wa ta’ala. Ini adalah dosa yang paling besar dan Allah –subhanahu wa ta’ala tidak akan mengampuni apabila pelakunya meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat. Allah –subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs. An-Nisaa’: 48). Alangkah banyak kesyirikan ada masa sekarang?

(2) Bid’ah atau penyimpangan dalam beragama yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, baik penyimpangan dalam aqidah atau amaliah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. Al-Kahfi: 103-104)

(3) Kedhaliman-kedhaliman, yaitu dosa-dosa yang berupa kedhaliman dan ada keterkaitan dengan orang lain, seperti mengambil harta orang lain tanpa hak, memfitnah orang lain dll. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim.” (Qs. Ali ‘Imran: 57)

(4) Kemaksiatan-kemaksiatan yang berhubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala selain ketiga di atas. Allah –subhanahu wa ta’ala berfirman tentang ahli surga: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji.” (Qs. Asy-Syura: 37)

Bagi orang-orang yang membantu dan memberikan sumbangan kepada mereka yang tertimpa musibah hendaklah ikhlas dalam memberikan semua itu dan semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala dan mengharap ridhaNya, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima amal apapun kecuali yang ikhlas dan mengharapkan ridha-Nya.
Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan hanya mengharapkan wajahNya.” (HR. An-Nasa’i dengan sanad hasan)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada kita semua pahala dan balasan kebaikan, amien ya Robbal ‘alamin.

Maraji’:



1.Al-Qur’an dan Tejemahnya.
2.Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, Ibnul Qayyim. Tahqiq, ta’liq dan takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdil Hamid Al-Halabi Al-Atsari. Cetakan ketiga th 1419H / 1998M. Penerbit Dar Ibnil Jauzi KSA.
3.Tazkiyatun Nufus, Syaikh Ahmad Farid. Edisi Revisi Hanya Memuat Hadis-Hadis Sahih, Cetakan th 1419 H / 1998M. Penerbit Dar Al-Aqidah Litturats, Iskandariyah.
4.Tuhfatul Maridh, Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin. Cetakan pertama th 1415 H / 1994 M. Penerbit Dar Al-Wathan Riyadh KSA. Dll.
***

Penulis: Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami
Artikel www.PengusahaMuslim.com


Thursday, September 17, 2009

TAKBIR PADA IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA

TAKBIR PADA IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari

Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur".

Telah pasti riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Beliau keluar pada hari Idul fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir"[1]



Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani :

"Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir secara jahr (keras/bersuara) di jalanan menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita ...

Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari'atkan berkumpul atas satu suara (menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent) sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut[2], dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau rahimahullah menjawab :

"Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah : Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq ( tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat". [Majmu Al -Fatawa 24/220 dan lihat 'Subulus Salam' 2/71-72]

Aku katakan : Ucapan beliau rahimahullah : '(dilakukan) setelah selesai shalat' -secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan.

Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab 'Iedain dari "Shahih Bukhari" 2/416 : "Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah".

Umar Radliallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir.

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.

Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid".

Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam. [Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lihat "Irwaul Ghalil' 650]

Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.

Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh :

Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.

"Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian". [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih]

Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajalla Allahu Akbar 'alaa maa hadanaa.
"Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita". [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]

Abdurrazzaq[3] -dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam "As Sunanul Kubra" (3/316)- meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al- Khair Radliallahu anhu, ia berkata :

"Artinya : Agungkanlah Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira".

Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam "Fathul Bari (2/536) :

"Pada masa ini telah diada adakan suatu tambahan[4] dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalanya".

[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid al-Halabi Al-Atsari hal. 19-22, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Mushannaf" dan Al-Muhamili dalam "Kitab Shalatul 'Iedain" dengan isnad yang shahih akan tetapi hadits ini mursal. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya. Lihat Kitab "Silsilah Al Hadits As-Shahihah" (170). Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan shalat Ied
[2]. Silsilah Al Hadits As-Shahihah 91/121) Syaikh Al Alamah Hamud At-Tuwaijiri rahimahullah memiliki risalah tersendiri tentang pengingkaran takbir yang dilakukan secara berjamaah. Risalah ini sedang di cetak.
[3]. Aku tidak melihatnya dalam kitabnya "Al Mushannaf".
[4]. Bahkan tambahan yang banyak !!

Wednesday, September 16, 2009

LAILATUR QADAR

LAILATUR QADAR
Keutamaan Lailatul Qadar ini sangat besar karena malam kesaksian turunnya Alquran, mengantarkan orang yang berpegang padanya ke jalan keagungan dan kemuliaan, serta mengangkatnya ke puncak ketinggian dan keabadian. Umat Islam yang selalu mengikuti sunah Rasulullah saw selangkah demi selangkah tidak perlu mengibarkan bendera atau membangun gapura besar untuk menyambut malam tersebut, tetapi dia hanya perlu berlomba-lomba untuk bangun malam dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala.

Berikut ini, wahai saudaraku, beberapa ayat Alquran dan juga hadis-hadis Nabi yang permanen yang disebutkan berkenaan dengan Lailatul Qadar ini, yang dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Keutamaan Lailatul Qadar

Lailatul Qadar ditetapkan mempunyai nilai yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampati terbit fajar." (Al-Qadr: 1--5).

Pada malam itu semua urusan dipecahkan dengan penuh kebijaksanaan. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh kebijaksanaan, yaitu urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya kami adalah yg mengutus para rasul, sebagai rahmat dari Rabmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui." (Ad-Dukhan: 3--6).

2. Waktu Lailatul Qadar

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa waktu Lailatul Qadar itu jatuh pada malam ke-21, ke-23, ke-25, ke-27, atau ke-29, serta malam terakhir dari bulan Ramadan.

Imam Syafifi (semoga Allah merahmatinya), Mengatakan, "Menurut saya, wallahu a'lam, seakan-akan Nabi memberikan jawaban atas apa yang ditanyakan kepada beliau. Ditanyakan kepada beliau, 'Apakah kita bisa mendapatkannya pada malam anu?' Beliau menjawab, 'Capailah Lailatul Qadar itu pada malam anu'."

Pendapat yang paling rajih adalah pendapat yang menyebutkan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadis Aisyah r.a. yang menceritakan, "Rasulullah selalu bangun pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadan seraya berkata, 'Dapatkanlah (dalam sebuah riwayat disebutkan: carilah) Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadan. (HR Bukhari dan Muslim).

Jika seorang hamba tidak mampu, jangan sampai tertinggal untuk mengejar tujuh malam terakhir. Hal itu sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., yang bercerita, Rasulullah saw. pernah bersabda, "Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir. Jika salah seorang di antara kalian tidak mampu atau lemah, maka hendaklah dia tidak ketinggalan untuk mengejar tujuh malam yang tersisa." (HR Bukhari dan Muslim).

Hal itu menafsirkan sabda Rasulullah saw., "Aku melihat pandangan kalian telah lemah. Oleh karena itu, barang siapa yang hendak mencarinya, maka hendaklah dia mencarinya pada tujuh malam terakhir."

Sebagaimana diketahui dari sunah bahwa pengetahuan mengenai Lailatul Qadar ini tidak diberikan karena manusia saling berselisih. Dari Ubadah bin Ash-Shamit r.a., dia bercerita, "Nabi saw. pernah keluar rumah pada (malam) Lailatul Qadar, lalu ada dua orang muslim yang berselisih, maka beliau bersabda, 'Sesungguhnya aku keluar untuk memberi tahu kalian mengenai Lailatul Qadar,' lalu si Fulan dan si Fulan berselisih sehingga pengetahuannya tidak diberikan. Mudah-mudahan hal tersebut lebih baik bagi kalian. Oleh karena itu, carilah pada malam ke-9, ke-7, dan ke-5 (dan dalam riwayat lain disebutkan: pada malam ke-7, ke-9, dan ke-5)." (HR Bukhari).

Peringatan: ada beberapa hadis yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan. Ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa Lailatur Qadar itu jatuh pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir. Yang pertama bersifat umum, sedangkan pendapat kedua bersifat khusus. Yang khusus didahulukan dari yang bersifat umum. Ada beberapa hadis lain yang menunjukkan bahwa Lailatur Qadar itu jatuh pada tujuh malam yang tersisa, dan yang ini terikat kepada ketidakmampuan dan kelemahan sehingga tidak ada masalah. Di sini hadis-hadis tersebut berkesesuaian dan tidak bertentangan, sepakat dan tidak bertolak belakang.

Ringkas kata bahwa seorang muslim mencari Lailatur Qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan, yaitu malam ke-21, ke-23, ke-25, ke-27, atau ke-29. Jika seseorang tidak mampu atau lemah untuk mengejarnya pada malam-malam ganjil terakhir, maka hendaklah dia mengejarnya pada tujuh malam ganjil yang tersisa, yaitu malam ke-25, ke-27, dan ke-29. wallahu a'lam.

3. Bagaimana Seorang Muslim Mendapatkan Lailatul Qadar?

Orang yang diharamkan mendapatkan malam yang penuh berkah itu berarti dia telah diharamkan dari semua kebaikan, dan tidaklah seseorang diharamkan dari kebaikannya, melainkan dia benar-benar merugi. Oleh karena itu, dianjurkan kepada orang muslim yang benar-benar taat kepada Allah untuk menghidupkan Lailatur Qadar dengan penuh keimanan dan penuh harapan akan pahalanya yang besar. Jika dia mengerjakan hal tersebut, niscaya Allah akan memberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosa yang lalu. Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa mendirikan ibadah pada (malam Lailatur Qadar dengan penuh keimanan dan harapan akan pahala, maka akan diberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosanya yang telah berlalu." (HR Bukhari dan Muslim).

Disunahkan untuk membaca doa sekaligus memperbanyaknya. Telah diriwayatkan dari Aisyah r.a., dia bercerita, "Pernah kutanyakan, 'Wahai Rasulullah, bagaimana pandanganmu jika aku mendapatkan Lailatur Qadar, apa yang mesti aku ucapkan?' Beliau bersabda, 'Bacalah: Allaahumma innaka 'afuwun, tuhibbul 'afwa fa'fu 'annii (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, yang mencintai maaf. Karena itu, berilah maaf kepadaku)'." (HR Tirmizi dan Ibnu Majah).

Saudaraku, mudah-mudahan Allah memberi berkah dan petunjuk kepada Anda untuk senantiasa taat kepada-Nya, kini Anda telah mengetahui hakikat Lailatur Qadar ini. Oleh karena itu, berusahalah untuk bangun malam pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadan, dan menghidupkannya dengan ibadah serta meninggalkan hubungan suami-istri. Perintahkanlah keluargamu untuk melakukan hal yang sama serta perbanyaklah ketaatan pada malam tersebut.

Dari Aisyah r.a., dia bercerita, "Jika memasuki sepuluh malam terakhir, Nabi memperkuat ikatan kainnya (maksudnya, menghindari campur dengan istri dalam rangka meningkatkan ibdah serta berusaha keras untuk mencari Lailatur Qadar) sambil menghidupkan malam itu serta membangunkan keluarganya." (HR Bukhari dan Muslim). Masih dari Aisyah r.a., "Rasulullah berusaha keras pada sepuluh malam terakhir, yang tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya." (HR Muslim).

Di Nukil dari: Syekh Salim bin Ied al-Hilali dan Syekh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Sunday, September 13, 2009

Zakat Fitrah

Zakat Fitrah

Betapa indahnya Islam memilih kalimat zakat untuk mengungkapkan hak harta yang wajib dibayarkan oleh orang yang kaya kepada orang yang miskin.
Secara etimologi zakat berarti pensucian sebagai-mana firman Allah:
Artinya :”Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. (Asy-Syams: 9),
dan zakat berarti memuji dan menghargai seperti firman Allah:
Artinya :”Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci”. (An-Najm: 32)
Zakat juga bermakna tumbuh dan bertambah sebagaimana dikatakan zakatuz zar’i artinya tatkala tum-buhan sedang tumbuh merekah dan bertambah. Semua makna di atas akan terlihat jelas tatkala seseorang telah menunaikan zakat sebagaimana yang akan kami jelas-kan dalam kitab ini.

Ulama syari’ah menjelaskan bahwa yang dimak-sud dengan istilah zakat adalah hak yang berupa harta yang wajib ditunaikan dalam harta tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu pula.
Zakat adalah hak orang lain bukan pemberian dan karunia dari orang kaya kepada orang miskin. Zakat adalah hak harta yang wajib dibayarkan dan syari’at Islam telah mengkhususkan harta yang wajib dikeluar-kan serta kelompok orang yang berhak menerima zakat, juga menjelaskan secara jelas tentang waktu yang tepat untuk mengeluarkan kewajiban zakat.
Allah SWT memberi dorongan untuk berzakat dengan firmanNya:
Artinya :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensuci-kan mereka.” (At-Taubah: 103)

Dan dari hadits Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah menerima sadaqah dan diambilnya dengan tangan kanan-Nya lalu dikembangkan untuk seseorang di antara kalian, seperti seseorang di antara kalian memelihara anak kuda yang dimilikinya, hingga sesuap makanan menjadi sebesar gunung Uhud”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh beliau dari Abu Hurairah)

Sebaliknya Allah memberi peringatan keras kepada orang-orang yang tidak menunaikan zakat dengan firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas perak itu dalam Neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari yang kamu simpan itu”. (At-Taubah: 34-35)

Dan Rasulullah menjelaskan tentang bentuk siksa tersebut dalam haditsnya:
“Tidaklah seseorang yang memiliki simpanan harta lalu tidak mengeluarkan zakatnya melainkan akan dipanaskan dalam Neraka Jahannam, lalu dijadikan lempengan-lempengan yang akan disetrikakan di punggung dan dahinya hingga Allah memutuskan perkara di antara hamba-Nya pada suatu hari yang dihitung sehari sama dengan lima puluh ribu tahun”. (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah)

Pedih dan beratnya siksaan itu dikarenakan hak-hak orang miskin yang tertahan sehingga mereka harus merasakan kepedihan dan kesengsaraan hidup akibat dari ulah orang-orang kaya yang menahan zakat. Islam tidak hanya memberi sanksi di akhirat bahkan di dunia Allah memerintahkan kepada negara untuk mengambil dengan paksa harta zakat dari mereka yang mengha-langi zakat.

Dan di antara kelebihan negara Islam adalah nega-ra yang pertama kali dalam sejarah yang mengobarkan peperangan dalam rangka membela hak orang fakir miskin sebagaimana yang terjadi pada zaman pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq dengan tegas beliau meme-rangi orang-orang yang menghalangi zakat.
Zakat adalah peraturan yang menjamin dan mem-berantas kesenjangan sosial yang tidak bisa hanya ditanggulangi dengan mengumpulkan sedekah per-orangan yang bersifat sunnah belaka.
Tujuan utama disyari’atkan zakat adalah untuk mengeluarkan orang-orang fakir dari kesulitan hidup yang melilit mereka menuju ke kemudahan hidup mereka sehingga mereka bisa mempertahankan kehidupannya dan tujuan ini tampak jelas pada kelompok penerima zakat dari kalangan gharim (orang terlilit hutang) dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam bepergian kehabisan bekal). Zakat juga berfungsi sebagai pembersih hati bagi para penerima dari penyakit hasad dan dengki serta pembersih hati bagi pembayar zakat dari sifat bakhil dan kikir.

Adapun dampak positif bagi perekonomian antara lain mengikis habis penimbunan harta yang membuat perekonomian tidak normal, paling tidak akan terjadi inflasi tiap tahun sebesar 2½ %, dengan membayar zakat maka peredaran keuangan dan transaksinya berjalan secara normal dan akan mampu melindungi stabilitas harga pasar walaupun pasar terancam oleh penimbunan.

Zakat Fitrah
A. Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah setelah matahari terbenam akhir bulan Ramadhan dan lebih utama jika dibayarkan sebelum keluar shalat Idul Fitri dan boleh dibayarkan dua hari sebelum hari raya 1 , demi menjaga kemaslahatan orang fakir. Dan haram mengakhirkan pembayaran zakat fitrah hingga habis shalat dan barangsiapa melakukan perbuatan tersebut, maka harus menggantinya.2

B. Seorang muslim wajib membayar zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya seperti isterinya, anaknya, dan pembantunya yang muslim. Akan tetapi boleh bagi seorang isteri atau anak atau pembantu membayar zakat sendiri.

C. Kadar zakat fitrah yang harus dibayar3 adalah satu sha’ dari makanan pokok negara setempat, dan satu sha’ untuk ukuran sekarang kira-kira 2,176 kg (keten-tuan ini sesuai makanan pokok gandum).

Dan kita bisa menggunakan tangan untuk menjadi takaran dengan cara kita penuhi kedua telapak tangan sebanyak empat kali. Karena satu mud sama dengan genggaman dua telapak tangan orang dewasa dan satu sha’ sama dengan empat mud.
Contoh: Seseorang mempunyai satu isteri dan empat orang anak serta satu pembantu muslim, berapa dia harus membayar zakat fitrah untuk mereka?
Dengan ukuran sha’ dia harus membayar 7 x 1 sha’ = 7 sha’
Dengan takaran atau timbangan sekarang berupa gandum: 7 x 2,176 kg = 15,232 kg atau lima belas kilo dua ratus tiga puluh dua gram.
Dan dengan kita meraup gandum dengan dua tela-pak tangan: 7 x 4 = 28 kali raupan dari makanan pokok baik berupa korma, gandum, anggur kering, susu ke-ring, jagung atau beras.

D. Dianjurkan mengeluarkan zakat dengan makanan4 , Imam Abu Hanifah membolehkan membayar dengan uang dan ini pendapat yang lebih mudah terlebih bagi lingkungan industri.5
Kadar nilai zakat disesuaikan dengan harga makan-an pokok masing-masing negara, jika seseorang ingin membayar zakat dengan korma sebanyak dua puluh kilo, maka hendaknya dia harus menanyakan harga kor-ma per kilo untuk ukuran korma sedang, lalu dihitung dengan mata uang setempat.

Yang Berhak Menerima Zakat
1. Kefaqiran dan Kekurangan
2. Orang yang Tidak Mampu Bekerja dan Pengangguran yang Terpaksa
3. Biaya Pengumpulan dan Pembagian Zakat
4. Orang yang Diharapkan Keislamannya
5. Pemerdekaan Budak dan Pembebasan Sandera
6. Membayar Utang Orang-orang yang Terhimpit utang
7. Jihad dan Perang di Jalan Allah
8. Orang yang Sedang Bepergian dan Mendapat Kecelakaan
• Fakir adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk para pegawai kelas rendah yang berpenghasilan kecil.
• Miskin adalah orang yang tidak mampu berusaha atau berkarya lagi6 karena cacat atau gangguan lain seperti orang buta, lumpuh atau pengangguran yang tidak terelakkan.
• Amil pengelola zakat yaitu orang yang diangkat oleh pemerintah untuk menangani pengumpulan, penghitungan dan pembagian zakat.
• Mu’allaf adalah orang yang diharapkan keIslamannya atau orang yang goyah keislamannya. Boleh memberikan zakat kepada non muslim yang terlihat ada kecenderungan terhadap Islam atau orang-orang yang baru masuk Islam agar tetap teguh dalam memeluk Islam.
• Budak untuk sekarang ini bagiannya boleh disalurkan untuk melepas tawanan atau sandera7 Islam yang ditawan oleh musuh Islam sebagaimana pendapat Imam Ahmad.
• Gharim adalah orang yang terhimpit oleh utang sementara tidak ada harta untuk pengembalian utang tersebut, dengan syarat hutang tersebut untuk keperluan hal-hal yang mubah.
• Fi Sabilillah adalah orang-orang yang tertahan di medan jihad dalam rangka menegakkan agama Allah.
• Ibnu Sabil adalah orang yang sedang bepergian yang tidak mampu melanjutkan perjalanan karena sedang kehabisan bekal, kehilangan atau kecopetan, termasuk juga anak-anak jalanan dan gelandangan.

(A). Dalil syar’i
Dalil syar’i dari pembagian kelompok di atas berdasarkan firman Allah:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengeta-hui lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah: 60)
Orang-orang yang tidak boleh menerima zakat
Orang kaya, yaitu orang yang berkecukupan atau mempunyai harta yang sampai senisab.
Orang yang kuat yang mampu berusaha untuk mencukupi kebutuhannya dan jika penghasilannya tidak mencukupi, maka boleh mengambil zakat.
Orang kafir di bawah perlindungan negara Islam ke-cuali jika diharapkan untuk masuk Islam.
Bapak ibu atau kakek nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah atau isteri dari orang yang mengeluarkan zakat, karena nafkah mereka di bawah tanggung jawabnya. Dibolehkan menyalurkan zakat kepada selain mereka seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dan bibi dengan syarat mereka dalam keadaan membutuhkan.
Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam me-nyalurkan zakatnya dan berusaha sesuai dengan anjuran syari’at, setelah berusaha dan berhati-hati ternyata keliru atau kurang tepat, maka dia dimaafkan dan tidak diperintahkan untuk mengulangi dalam membayar zakat tersebut.
Jika tidak berhati-hati dalam menyalurkan zakat-nya kemudian ternyata salah penempatan tidak sampai pada yang berhak, maka dia wajib mengulangi dalam membayar zakat .

Menurut ijma’ para ulama dibolehkan menyalurkan zakat ke daerah lain asalkan daerah tempat tinggalnya sudah tidak membutuhkan lagi. Jika memang kondisi sangat membutuhkan seperti salah seorang kerabat yang tinggal di daerah lain membutuhkan atau daerah lain lebih membutuhkan karena kemiskinan atau kelapar-an seperti yang terjadi di Afrika atau jihad di Afganistan atau kemiskinan yang terjadi di Banglades.

Dibolehkan mendahulukan pembayaran zakat dua tahun sebelum datang waktu haul (putaran tahun zakat)8 ada pun mengakhirkan setelah datang waktu pembayaran tidak boleh, kecuali ada maslahat tertentu yang jelas, seperti mengakhirkan pembayaran zakat karena menunggu orang fakir yang sedang merantau jauh atau kerabat yang sedang membutuhkan.
Zakat tidak gugur karena ditunda-tunda, barang-siapa yang bertahun-tahun tidak membayar zakat, maka dia harus membayar zakat seluruh tahun yang telah berlalu dan belum dibayarkan zakatnya.

Sebaiknya seseorang yang memberikan zakat kepada orang fakir tidak memberitahukan kepadanya bahwa pemberian tersebut adalah harta zakat, demikian itu untuk menjaga perasaannya.
Sebagian ulama9 membolehkan membayar zakat dengan piutang, artinya jika seseorang mempunyai piutang pada orang lain sementara orang tersebut susah hidup, maka boleh piutang tersebut dibebaskan sebagai zakat yang dibayarkan kepada orang tersebut karena demikian itu sama halnya membayar zakat kepada orang yang sedang membutuhkan.

FOOT NOTE
1] Menurut madzhab Hambali boleh mengeluarkan zakat setelah pertengahan bulan Ramadhan, pendapat ini lebih mempermudah khususnya bagi negara yang menangani langsung pembayaran zakat fitrah, atau jika yang menangani itu yayasan-yayasan sosial, sehingga mempermudah mereka dalam pengumpulan dan pembagiannya pada hari Ied.
2] Lihat Nailul Authar, 4/195. Fiqhuz Zakah: 1/155.
3] Dalam zakat fitrah tidak mengenal nisab, di saat ada kelebihan dari kebutuhan makanan pada malam hari raya untuk dirinya dan keluarga-nya, maka seseorang wajib membayar zakat fitrah.
4] Para ulama madzhab tiga (Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad) tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang.
5] Fiqhuz Zakah , 1/949. Penulis pernah membuat semacam ide yang disampaikan lewat mimbar pada tahun 1404 H. hendaknya zakat fitrah dikelola oleh pemerintah atau Lembaga Islam kemudian disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan baik di dalam maupun luar negeri khususnya negara-negara yang terkena krisis seperti negara Afrika atau Asia yang banyak menderita kelaparan. Apalagi kristenisasi sangat gencar dengan berkedok bantuan sosial berupa makanan atau obat-obatan untuk bantuan kelaparan dan bencana alam dimanfaatkan untuk pemurtadan sehingga banyak di antara kaum muslimin yang keluar dari Islam hanya karena sesuap nasi seperti yang terjadi di Indonesia.
Jika zakat fitrah tersebut bisa dikumpulkan setelah pertengahan bulan Ramadhan, maka sangat mungkin zakat fitrah tersebut disalurkan kepada yang berhak pada waktu itu juga. Dengan demikian pada saat hari raya orang-orang kelaparan bisa merasa kenyang dan kecukupan, bila tidak apa mungkin seseorang dipaksa bergembira di hari raya sementara kela-paran melilitnya.
6]Miskin diambil dari kata sukun yang berarti tidak mampu bergerak.
7] Jika ada budak, maka zakat digunakan untuk memerdekakan budak.
8] Demikian itu berdasarkan tindakan Abbas yang pernah mendahulukan pembayaran zakat pada zaman Rasulullah. Madzhab Hanafi tidak memberi batasan tahun yang boleh didahulukan (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 2/29-30).
9] Di antara mereka adalah Al Hasan Al Basr, ‘Atha’ dan Ibnu Hazm, lihat Al-Muhalla, 5/105

Dinukil dari “Panduan Praktis Menghitung Zakat” di situs www.alsofwah.or.id

Puasa Syawal: Puasa Seperti Setahun Penuh

Puasa Syawal: Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …

“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)


Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan ?

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)

Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu

Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.

Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!

Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah

Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)

Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Saturday, September 12, 2009

Hadist Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan

Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.


Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء

“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)

Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1

صوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(’Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك

Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)

Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

***

Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Monday, September 7, 2009

Ramadhan Bulan Berkah

Ramadhan Bulan Berkah
Ikhwati wa akhowati fillaah rahimakumullah, Salah satu sifat Allah SWT adalah Ia memiliki irodah (kehendak), sebagaimana firmanNya : "Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)." (QS Al Qoshosh [28]:68). Allah memilih sesuatu yang dikehendakiNya. Allah memilih tempat yang dikehendakiNya. Allah memilih manusia yang dikehendakiNya, pilihanNya sendiri ada yang menjadi Rasul, pemimpin negara, cendekia, dsb. Allah memilih gua Hiro' yang dikehendakiNya sebagai tempat pertemuan Rasul dan Malaikat Jibril. Allah memilih Mekkah yang dikehendakiNya sebagai kiblat kaum Muslimin dan memilih pula kota Madinah sebagai basis pertahanan Rasulullah dalam menyebarkan risalah Ilahi.

Begitu pula halnya dengan bulan-bulan dalam setahun, Allah telah memilih Ramadhan sebagai bulan yang istimewa, yang namanya disebutkan dalam Al Qur-an. Firman Allah : "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." QS Al Baqoroh [2]:185. Jika Allah berkehendak, tentu ada suatu maksud tertentu dibalik kehendakNya itu. Allah mengutus Rasulullah dengan satu maksud, untuk menyampaikan risalah-Nya.

Begitu halnya dengan bulan Ramadhan, sebab Allah tidak akan mengatakan Ramadhan sebagai bulan istimewa jika tidak ada sesuatu dibalik itu. Baginda Rasulullah SAW, ketika berada di penghujung bulan Sya'ban, selalu mengatakan kepada sahabatnya : "Telah datang padamu bulan Ramadhan, penghulu segala bulan. Maka sambutlah kedatangannya. Telah datang bulan shiyam membawa segala keberkahan, maka alangkah mulianya tamu yang datang itu." (HR. Ath Thabrani) Dalam sabdanya yang lain : "Sesungguhnya telah datang padamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah memerintahkan berpuasa di dalamnya. Pada bulan itu, dibukakan segala pintu Surga, dikunci segala pintu neraka dan dibelenggu syetan-syetan. Di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa yang tidak diberikan kebajikan malam itu, berarti telah diharamkan baginya segala rupa kebajikan." (HR. An Nasai dan Al Baihaqi)

Jika kita menengok ke belakang, melihat sirah Rasulullah SAW kita akan melihat betapa banyaknya kejadian penting terjadi pada bulan Ramadhan, di antaranya :

1.. Bulan diturunkannya Al Qur-an. Firman Allah : "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)." (QS Al Baqarah [2]:185) Dalam tafsir Mafatihul Ghaib, berkenaan dengan ayat diatas, Ar Razi berkata : "Allah telah mengistimewakan bulan Ramadhan dengan jalan menurunkan Al Qur-an. Karenanya, Allah SWT mengkhususkannya dengan satu ibadah yang sangat besar nilainya, yakni puasa (shaum). Shaum adalah satu senjata yang mengungkapkan tabir-tabir yang menghalangi kita manusia memandang nur Ilahi yang Maha Quddus. Al Qur-an adalah suatu kitab yang tiada bandingannya, pemisah yang haq dan bathil, berlaku sepanjang masa, dan menjadi pengikat seluruh ummat Islam di seluruh dunia.

2.. Bulan diturunkannya kitab-kitab suci lainnya. Di bulan ini pula, Allah menurunkan kitab-kitabNya yang lain kepada para Rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: "Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada 6 Ramadhan dan Injil diturunkan pada 13 Ramadhan sedangkan Al Qur-an diturunkan pada 24 Ramadhan." (HR. Ahmad) Itulah keberkahan bulan Ramadhan, bulan turunnya ayat-ayat Qouliyyah, minhajul hayah bagi keberadaan manusia di muka bumi, penunjuk jalan bagi orang-orang yang mau mensucikan dirinya.

3.. Bulan pilihan Allah bagi terjadinya perang Badr. Perang pertama yang dilakukan kaum Muslimin, dimana perang ini menjadi penentu kelangsungan perjuangan da'wah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya. Perang Badr dinamakan Allah dengan sebutan "yaumul furqon" (hari pembeda antara yang haq dan bathil), sebagaimana firmanNya : "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." QS Al Anfal [8]:41. Muhammad Qutb mengatakan dalam tafsirnya bahwa perang ini dari awal hingga akhirnya adalah rencana Allah SWT yang dilaksanakan dengan pimpinan dan bantuanNya. Dimana dalam jalannya pertempuran, Allah SWT memenangkan kaum Muslimin yang mempunyai personil dan persenjataan minim, ditambah kondisi fisik kaum Muslimin yang secara lahiriah lebih lemah karena sedang berpuasa, setelah menerima perintah yang baru beberapa saat diterimanya. Namun itu bukanlah hambatan untuk menang, karena kekuatan utama kaum Muslimin adalah kekuatan ruhiyyah mereka dengan keyakinan akan kebenaran janji Allah SWT. Peperangan ini membuahkan babakan baru dalam sistem gerakan Islam. Perang ini memperbaharui kondisi ummat Islam, setelah dengan sabar dan tabah menempuh tahapan-tahapan perjuangan da'wah. Lahir tatanan baru dalam kehidupan manusia, bagi penerapan hak-hak asasi serta sistem dan struktur baru bagi masyarakat dan negara.

4.. Bulan yang dipilih bagi terbukanya kota Mekkah. Peristiwa "fathul makkah" terjadi pada pertengahan bulan Ramadhan, sekitar 10000 kaum Muslim mendatangi Makkah dari segala penjuru. Pada saat itulah terjadi fenomena kemenangan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah manapun, dimana semua musuh, hingga para pemimpinnya menerima dan mengikuti agama lawan. Ini tidak terjadi melainkan dalam sejarah Islam. Kemenangan ini hakikatnya adalah kemenangan akidah, kalimat tauhid dan bukan kemenangan individual atau balas dendam.

5.. Bulan yang dipilih Allah untuk Lailatul Qadar. Dijelaskan dalam firman Allah SWT : "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS Al Qadr [97]:1-5)

Bulan yang dipilih untuk pelaksanaan puasa dan pemindahan qiblat. Firman Allah : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. " QS Al Baqarah [2] : 183. Bersamaan dengan turunnya ayat perintah berpuasa di bulan Ramadhan, pemindahan qiblat ummat Islam dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram inipun menjadi pembeda antara yang haq dan bathil, dimana pada saat sebelumnya orang Yahudi merasa lebih benar karena puasa mereka dan kiblat mereka diikuti kaum Muslimin. Namun dengan perintah itu, maka berbedalah kaum Muslimin dengan ahlul kitab. Berbeda pula kiblat Muslimin dengan mereka, serta puasa Muslimin dengan mereka. Kecongkakan merekapun berakhir dengan barokah bulan ini.

Friday, September 4, 2009

Hikmah musibah dan Bencana

Hikmah musibah dan Bencana

Bangsa Indonesia saat ini sedang ditimpa musibah secara berturut-turut. Dari tinjauan islam,musibah apapun yang berupa bencana alam atau akibat kelalaian manusia, segala yang terjadi telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Berat mata memandang,memang tak seberat bahu memikul. Suka atau tidak kehidupan harus terus berjalan. Oleh sebab itu pastilah ada hikmah yang dapat diambil dari berbagai kejadian yang menimpa, karena Dia yang Maha Adil dan Penyayang pasti tidak akan berbuat aniaya. Smoga kutipan ini dapat menjadi sedikit penghibur bagi sobat-sobat yang sedang mengalami kesulitan atau kesedihan.

Ibnu Qayyim berkata:
“Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusanNya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan ini pun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.”
Diantara beberapa hikmah yang bisa saya kutip diantaranya:
1. Sabar sebgai konsekuensi menghadapi kesulitan dan kesusahan. Allah berfirman:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira pada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun (Sesungguhnya semua berasal dr Allah dan akan kembali kpd_NYa). Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.Al-Baqarah:155-157)
2. Menghapuskan dosa dan kesalahan. Allah berfirman:
“Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri,dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS.Asy-Syura:30)
Dari Sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id radiallahuanhu : Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah gulanaan hingga duri yang menusuknya melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya. (HR. Bukhari)
3. Dicatat sebagai kebaikan dan derajat ditinggikan.
“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu,melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya” (HR.Muslim)
4. Jalan menuju syurga. Dari Abu Hurairah,Rasulullah SAW bersabda:
“Syurga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai dan Neraka itu dikelilingi dengan berbagai macam syahwat.” (HR. Bukhari – Muslim)
Allah berfirman dalam sebuah hadist qudsi:
“Tidaklah ada suatu balasan (yang lebih pantas di sisiKu bagi hambaKu yang beriman, jika Aku telah mencabut nyawa kesayangannya dari penduduk dunia kemudian dia bersabar atas kehilangan orang kesayanagnnya itu, melainkan Surga.” (HR. Bukhari)
5. Membawa keselamatan dari api neraka
“Janganlah kamu mencacimaki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi” (HR. Muslim)
6. Mengembalikan hamba kepada Rabb-nya dan mengingat kelalaiannya. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya KAmi telah mengutus Rasul-Rasul kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami timpa mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk dan merendahkan diri.” (QS.Al-An’am : 42)
7. Mengingat nikmat Allah yang lalu dan yang ada. Seorang penyair berkata: Seseorang tidak mengenali tanda-tanda sehat selagi dia belum tertimpa sakit.
8. Mengingat keadaan saudara-saudaramu yang ditimpa musibah. Maka diantara hikmah Allah, Dia menimpakan cobaan berupa penyakit dan penderitaan kepada orang mukmin pada waktu-waktu tertentu, agar dia mengingat saudara-saudaranya yang ditimpa kesulitan, sehingga tergugah untuk membantunya.
9. Mensucikan hati. Ibnu Qayyim radiallahuanhu berkata:
“Hati dan ruh bisa mengambil manfaat dari penderitaan dan penyakit yang merupakan urusan yang tidak bisa dirasakan kecuali jika di dalamnya ada kehidupan. Kebersihan hati dan ruh tergantung kepada penderitaan badan dan kesulitannya.” (Tuhfatul Mariidh hal 25)
10. Cobaan dan ujian merupakan nikmat. Karena hikmah dari berbagai cobaan,orang – orang shalih justru gembira sekiranya mendapat cobaan spt telah mendapat kesenangan. RAsullullah SAW menyebutkan bahwa para Nabi telah ditimpa cobaan berupa penyakit, kemiskinan dan yang lainnya kemudian beliau bersabda:
“…Dan sesungguhnya salah seorang diantara mereka benar-benar merasa gembira karena mendapat cobaan, sebagaimana salah seorang merasa gembira karena telah mendapatkan kelapangan.” (HR. Ibnu Majah)

Dikutip dari : Do’a & Hiburan (Bagi orang sakit dan terkena musibah) Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas.